Oleh : Al-Faqir Ilallaah Abu Ukasyah
Al-Cilacapy
Alhamdulillah, was shallaatu was
salaamu ‘ala rasulillah. Memenuhi permintaan sebagian ikhwah yang ingin
mengetahui takhrij hadits Al-‘Ajn (mengepalkan tangan ketika bangkit dari
sujud) berikut jalur periwayatannya, maka dengan segala keterbatasan kami, di
sini mencoba untuk mengurai permasalahan tersebut sehingga dengan pertolongan
Allah bisa mencapai suatu kejelasan.
Matan Hadits
Ada beberapa
hadits yang terkait dalam permasalahan ini, yang akan kita sebutkan insya Allah
berikut takhrijnya :
1.
Hadits Ibnu Abbas Radhiallahu
‘Anhuma
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان إذا قام في صلاته وضع يده على
الأرض كما يضع العاجن
Bahwasanya Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wasallam apabila berdiri di dalam shalat bertelekan tangannya
diatas tanah sebagaimana yang dilakukan oleh Al-Ajin (Arti Al-‘Ajin
belum kami jabarkan mengingat ada persilangan pendapat diantara ulama tentang
maknanya)
Takhrij Hadits :
Disebutkan oleh Al-Ghazaliy dalam Al-Wasith
(2/142-143), Diikuti oleh Ar-Rafi’i dalam Asy-Syarh Al-Kabir (1/528),
Ibnu Hajar dalam Talkhisul Habir (1/467), Ibnu Mulaqqin dalam Al-Badru
Al-Munir (3/678), dan Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab
(3/421).
Derajat Hadits :
“Hadits batil, dhaif, tidak ada asal
- usulnya”
Berkata Ibnu Mulaqqin rahimahullah
:”Aku belum mendapati seorang pun dari ahli hadits yang meriwayatkan dengan
jalur ini setelah ku telaah”. (Lihat Al-Badru Al-Munir (3/678).
Berkata Ibnu Shalah rahimahullah
:”Hadits ini tidak dikenal dan tidak sah serta tidak boleh berhujah dengannya”.
(Lihat Al-Badru Al-Munir (3/679).
Berkata Imam Nawawi rahimahullah
:”Hadits ini dhaif, batil, tidak ada asal - usulnya”. (Lihat Al-Majmu’
Syarhul Muhadzab (3/421).
2.
Hadits Ibnu Umar Radhiallahu
‘Anhuma
Riwayat Thabraniy
حدثنا
علي بن سعيد الرازي حدثنا عبد الله بن عمر بن أبان حدثنا يونس بن بكير حدثنا
الهيثم بن علقمة بن قيس بن ثعلبة عن الأزرق بن قيس قال : رأيت عبد الله بن عمر وهو
يعجن في الصلاة, يعتمد على يديه إذا قام, فقلت : ما هذا يا أبا عبد الرحمن؟. قال :
رأيت رسول الله صلى الله عليه و سلم يعجن في الصلاة, يعني : يعتمد
Telah
menceritakan kepada kami Ali bin Sa’id Arrazi, telah menceritakan kepada kami
Abdullah bin Umar bin Aban, telah menceritakan kepada kami Yunus bin Bukair, telah
menceritakan kepada kami Al-Haitsam bin Alqamah bin Qais bin Tsa’labah dari
Al-Azraq bin Qais dia berkata: “Aku melihat Abdullah bin Umar melakukan ‘Ajn di
dalam shalat, bertelekan kedua tangannya ketika bangkit, maka aku pun berkata
kepadanya :”Apa ini wahai Abu Abdirahman?”. Beliau menjawab :”Aku melihat
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam melakukan ‘Ajn di dalam shalat”. Yaitu :
Bertelekan -tangannya-.
Berkata Ath-Thabraniy :”Tidak ada
yang meriwayatkan hadits ini dari Al-Azraq kecuali Al-Haitsam, Yunus bin Bukair
menyendiri dalam periwayatannya”.
Riwayat Al-Harabiy
حدثنا
عبيد الله بن عمر حدثنا يونس بن بكير عن الهيثم عن عطية بن قيس عن الأزرق بن قيس :
رأيت ابن عمر يعجن فى الصلاة يعتمد على يديه إذا قام فقلت له فقال : رأيت رسول
الله صلى الله عليه يفعله
Telah menceritakan kepada kami
Ubaidillah bin Umar, telah menceritakan kepada kami Yunus bin Bukair dari
Al-Haitsam dari Athiyah bin Qais dari Al-Azraq bin Qais berkata :”Aku melihat
Ibnu Umar melakukan ‘Ajn di dalam shalat, bertelekan dengan kedua tangannya
ketika bangkit, maka aku bertanya kepadanya -kenapa beliau melakukannya-?.
Beliau menjawab :”Aku melihat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam
melakukannya”.
Takhrij Hadits :
Dikeluarkan oleh Ath-Thabraniy dalam Mu’jamul
Ausath No. 4007 (4/213), Al-Haraby dalam Gharibul Hadits (2/525).
Pembahasan Sanad :
Jika kita mau mencermati kedua
riwayat diatas, maka akan kita dapati perbedaan antara riwayat Thabraniy dan
Al-Harabiy, yaitu pada Syaikh Yunus bin Bukair.
Pada riwayat Thabraniy disebutkan
nama Syaikh Yunus bin Bukair adalah Al-Haitsam bin
Alqamah bin Qais bin Tsa’labah yang mana ia meriwayatkan secara langsung dari
Al-Azraq dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma
Adapun
pada riwayat Al-Harabiy nama Syaikh Yunus bin Bukair adalah Al-Haitsam yang
mana ia meriwayatkan dari Athiyah bin Qais dari Al-Azraq bin Qais dari Ibnu Umar Radhiallahu
‘Anhuma.
Berkata
Syaikh Al-Albani rahimahullah mengenai hal ini :”Berkata Thabraniy :”Tidak ada yang meriwayatkan hadits
ini dari Al-Azraq kecuali Al-Haitsam, Yunus bin Bukair menyendiri dalam
periwayatannya”. Aku katakan :”Dia -yaitu Yunus bin Bukair- adalah seorang yang
Shaduq, haditsnya hasan dan termasuk perawi Muslim, meski terdapat perbincangan
tentang dirinya namun tidak sampai menurunkan haditsnya dari derajat hasan
insya Allah. Akan tetapi Syaikhnya yaitu Al-Haitsam bin Alqamah bin Qais bin
Tsa’labah aku tidak mengetahui tentang -biografinya- , dan aku belum mendapati
ada seorang pun yang menyebutkan biografinya, aku khawatir dalam riwayat ini -yaitu
riwayat milik Thabaraniy- terdapat suatu kesalahan dalam penulisan.
Abu
Ishaq Al-Harabiy di dalam kitabnya “Gharibul Hadits telah menyebutkan pula
dengan sanad beliau seperti ini :”Telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin Umar (Dalam Silsilah
Ash-Shahihah (6/381), Maktabah Al-Ma’arif Riyadh, Tahun 1315 H / 1995 M,
tertulis “Abdullah bin Umar” dan yang benar adalah “Ubaidillah bin Umar” jika
merujuk kepada kitab aslinya Gharibul Hadits (2/525)), telah
menceritakan kepada kami Yunus bin Bukair dari Al-Haitsam dari Athiyah bin Qais
dari Al-Azraq bin Qais.
Sedang Al-Harabiy seorang yang
tsiqah, seorang Imam dan Al-Hafidh, riwayatnya lebih didahulukan daripada
riwayat Aly bin Sa’id Ar-Raziy (Syaikh Thabraniy), walaupun ia telah dinilai
tsiqah oleh Maslamah bin Qasim akan tetapi Ad-Daruquthniy mengomentarinya sebagai
berikut :”Ia tidak demikian”. Maka perkataannya (Aly bin Sa’id Ar-Raziy) di
dalam sanad :”Al-Haitsam bin Alqamah bin Qais bin Tsa’labah”. Merupakan kekeliruan
dirinya jika itu memang berasal darinya, dan yang benar adalah perkataan
Al-Harabiy :” Al-Haitsam
dari Athiyah bin Qais”. (Lihat Silsilah Ash-Shahihah (6/380-381)
Jadi
sanad yang benar adalah apa yang di bawakan oleh Abu Ishaq Al-Harabiy dalam
kitab beliau Gharibul Hadits (2/525) yaitu :” Yunus bin Bukair dari
Al-Haitsam dari Athiyah bin Qais dari Al-Azraq bin Qais”. Wallahu a’lam.
Biografi Perawi :
Ubaidillah bin Umar :
Beliau
adalah Abu Sa’id Ubaidillah bin Umar bin Maisarah Al-Jusyami, wafat pada tahun
235 H di Baghdad. Beliau termasuk perawi Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Abu Ishaq
Al-Harabiy, Abu Ya’la Al-Maushiliy, Ibnu Abi Khaitsamah, Ibnu Abid Dunya dll.
Hadits beliau juga ditulis oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Ma’in.
Berkata Yahya bin Ma’in :”Tsiqah”.
Dinilai tsiqah pula oleh Ahmad bin
Abdullah Al-‘Ijly, An-Nasa’i, dan Shalih bin Muhammad Al-Asadiy beliau
menambahkan :”Shaduq”.
Berkata Abu Hatim Ar-Raziy :”Shaduq”.
Berkata Muhammad bin Sa’ad :”Beliau
seorang yang tsiqah, dan banyak meriwayatkan hadits”.
Berkata Ibnu Hajar Al-Asqalaniy
:”Tsiqatun Tsabat”.
Berkata Adz-Dzahabi :”Al-Imam,
Al-Hafidh, Muhaditsul Islam”.
(Lihat Tahdzibul Kamal
(19/130-136), Ats-Tsiqaat Ibnu Hibban (8/405-406), Taqribut Tahdzib
(Hal. 314), Siyar A’lamin Nubala (11/442), Kitaabut Thabaqaat
Al-Kabiir (9/353)).
Kesimpulan : Beliau adalah seorang yang tsiqah,
haditsnya diterima dan dijadikan hujjah.
Yunus bin Bukair :
Beliau adalah Abu Bakar Yunus bin
Bukair bin Washil Asy-Syaibani Al-Jammaal (Adz-Dzahabiy berkata Al-Hammal) Al-Kuufiy,
wafat pada tahun 199 H. Hadits beliau
diriwayatkan oleh Ahmad bin Abdiljabar Al-‘Utharidiy, Ahmad bin Muhammad
bin Yahya bin Sa’id Al-Qhathan, Ishaq bin Musa Al-Anshariy, Abu Khaitsamah
Zuhair bin Harb, Sufyan bin Waki’ bin Al-Jarrah, Ibnu Abi Syaibah dll. Hadits
beliau juga dijadikan syahid oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya
serta membawakan riwayatnya pula dalam kitab Imam Bukhari yang berjudul
“Al-Qira’ah Khalfal Imam”. Beliau juga termasuk rijaal Muslim dan para
pemilik kitab Sunan kecuali An-Nasa’i juga membawakan riwayat beliau dalam
kitab mereka.
Yahya bin Ma’in berkata dalam riwayat
Utsman bin Sa’id Ad-Darimiy tentang beliau :”Tsiqah”. Dalam riwayat yang lain
beliau berkata :”Beliau seorang yang shaduuq”.
Berkata Utsman bin Sa’id Ad-Darimiy
:”Dia (Yahya bin Ma’in) menyelisihi Ahli Hadits dalam perkara Yunus”. Ditempat
lain Utsman bin Sa’id Ad-Darimiy berkata :”Tidak mengapa dengannya (Yunus bin
Bukair)”.
Dalam riwayat yang lain Yahya bin
Ma’in berkata :”Tsiqah hanya saja ia seorang pengikut Murji’ah dan pengekor Sulthan
(Penguasa)”.
Berkata Abu Khaitsamah :”Aku menulis
hadits darinya”.
Berkata Abdurrahman bin Abi Hatim
:”Abu Zur’ah pernah ditanya tentang hal apa yang membuat Yunus bin Bukair
diingkari?”. Beliau menjawab :”Adapun dalam periwayatan hadits maka aku tidak
mengetahui -ada sesuatu yang diingkari darinya-”.
Abu Hatim berkata :”Dia merupakan
tumpuan kejujuran”.
Berkata Abu Ishaq Al-Juzjaaniy
:”Berkaitan dengan perkaranya sebaiknya diteliti terlebih dahulu”.
Berkata Aly bin Al-Madiniy (Syaikh
Imam Bukhari) :”Aku menulis hadits darinya akan tetapi tidak meriwayatkan
darinya”.
Berkata Muhammad bin Abdullah bin
Numair dan Ubaid bin Ya’isy :”Tsiqah”.
Abu Dawud berkata :”Dia bukanlah
hujjah disisiku, dia mengambil perkataan Ibnu Ishaq untuk kemudian ia sambungkan
dengan hadits”.
Berkata An-Nasa’i :”Dia tidak kuat”. Dalam
tempat lain beliau berkata :”Dia dhaif”.
Berkata Ibnu Ammar :”Dia sekarang
tsiqah disisi Ahli hadits”.
Berkata Adz-Dzahabiy :”Hasanul
hadits”.
Berkata Ibnu Hajar :”Shaduq, kadang
melakukan kesalahan”.
Ibnu Hibban menyebutkannya dalam
kitab Ats-Tsiqaat (yaitu : kitab yang memuat daftar perawi - perawi yang
tsiqah menurut Ibnu Hibban) begitu juga Al-‘Ijiliy di dalam kitabnya Ma’rifatus
Tsiqaat.
(Lihat Tahdzibul Kamal
(32/493-497), Rijaal Shahih Muslim (2/369), Siyar A’lamin Nubala
(9/245-248), Dzikru Asma’i Man Tukullima Fiihi Wa Huwa Muwatsaqqun (Hal.
203), Tahdzibut Tahdzib (4/467), Taqribut Tahdzib (Hal. 542), Ma’rifatuts
Tsiqaat (2/377), Kitaabu Thabaqaat Al-Kabiir (8/522)).
Kesimpulan : Yunus bin Bukair adalah seorang
perawi yang shaduq, haditsnya sekurang - kurangnya adalah hasan, adapun jarh
yang disematkan kepada beliau mayoritas bukan Jarh Mufassar (Jarh yang dirincikan
sebabnya), mengenai pemahaman beliau yang Irja’i maka dalam konteks ini
riwayat beliau tidak dipermasalahkan karena bukan termasuk riwayat yang
mendukung pemahaman Irja’inya, adapun alasan Abu Dawud yang tidak mau
menerima haditsnya disebabkan beliau menyambungkan perkataan Ibnu Ishaq dengan
hadits, maka kita katakan bahwa dalam riwayat ini Yunus bin Bukair tidak
mengambil perkataan Ibnu Ishaq namun ia meriwayatkan dari Al-Haitsam, sehingga riwayat
beliau disini insya Allah tidak sampai turun dari derajat hasan, wallaahu
a’lam.
Al-Haitsam :
Beliau
adalah Al-Haitsam bin Imran Al-‘Absy Ad-Dimasqiy. Hadits beliau diriwayatkan
oleh Yunus bin Bukair, Al-Haitsam bin Kharijah, Muhammad bin Wahb bin ‘Athiyah,
Hisyam bin Ammar dan Sulaiman bin Syarhabil. Para ulama bersilang pendapat tentang
status beliau, apakah beliau termasuk perawi yang dhaif karena mubhamnya
(tidak dikenalnya) beliau, atau perawi yang diterima haditsnya berpegang kepada
tautsiiq (pentsiqahan) dari Ibnu Hibban dalam kitabnya “Ats-Tsiqaat”?.
Perlu
diketahui biografi Al-Haitsam hanya disebutkan di dalam kitab Al-Jarh Wa
Ta’dil Ibnu Abi Hatim (Jilid 9/Juz 4/Bag. 2/Hal. 82-83) dan Ats-Tsiqaat
Ibnu Hibban (7/577) itu pun hanya segelintir dari biografi beliau. Ibnu Abi
Hatim tidak memberikan komentar apapun tentang beliau, tidak jarh tidak
pula ta’dil, adapun Ibnu Hibban memasukannya dalam kitab “Ats-Tsiqaat”
dan itu cukup untuk mengindikasikan bahwa beliau termasuk perawi yang diterima
haditsnya menurut Ibnu Hibban.
Dalam
menerima tautsiiq (pentsiqahan) dari Ibnu Hibban para ulama berbeda
pendapat, ada yang keras ada pula yang lunak. Namun dalam permasalah ini yang
lebih mendekati kebenaran -insya Allah- adalah merincikan perkara tersebut,
tidak menerima tautsiiq Ibnu Hibban secara mutlak, tidak pula
mengabaikannya secara kulliyah (menyeluruh), akan tetapi kita menerima tautsiiq
Ibnu Hibban manakala terdapat qarinah (petunjuk) yang menunjukan
diterimanya tautsiiq tersebut.
Dan
inilah yang ditempuh oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalaniy dalam hal ini,
beliau memandang Ibnu Hibban sebagai Ahli Hadits yang mutassahil (yang
bergampangan dalam mentsiqahkan perawi) namun disisi lain beliau tetap
mengambil tautsiiq Ibnu Hibban manakala terdapat penguat yang menguatkan
tautsiiq tersebut. Dan salah satu metode yang ditempuh oleh beliau dan
semisalnya dalam menguatkan tautsiiq Ibnu Hibban yaitu manakala ada
perawi yang hanya mendapat tautsiiq dari Ibnu Hibban seorang, namun
bersamaan dengan itu ada beberapa perawi tsiqah yang meriwayatkan hadits
darinya.
Berkata
Al-Allamah Al-Albaniy rahimahullah dalam kitab beliau Tamamul Minnah
(Hal. 204) ketika mengomentari kitab “Juz’u Kaifiyatin Nuhudh Fii Shalah” milik
Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah dimana di dalamnya beliau mendhaifkan
“Al-Haitsam” karena kemajhulannya (tidak dikenalnya) dia :
“Dan
cacat berikutnya menurut beliau (yaitu yang pertama Syaikh Bakr Abu Zaid juga
mendhaifkan Yunus bin Bukair) adalah Al-Haitsam bin Imran Al-‘Absiy. Sungguh
saudara kami ini telah mengonsep seputar dirinya sebanyak sepuluh halaman tanpa
faidah yang berarti, hingga seringkali -sebagaimana kebiasaan beliau- dalam
kitab tersebut menyebutkan hal - hal yang tidak berkaitan dengan cacat yang dia
sangka, dan kesimpulan dari perkataannya ialah bahwasanya Al-Haitsam telah
meriwayatkan darinya sebanyak lima orang perawi, dan disisinya dia termasuk
perawi yang majhulul hal (keadaannya tidak diketahui), dan sebagian
besar yang beliau sebutkan dari apa yang beliau ambil berasal dari kitab -
kitabku.
Kemudian
beliau menyebutkan perkataan Al-Hafidh (Ibnu Hajar Al-Asqalaniy) dalam kitabnya
“Lisanul Mizan” saat mengkritik metode Ibnu Hibban dalam pentsiqahan perawi
walaupun tidak meriwayatkan dari perawi tersebut kecuali satu orang saja.
Kemudian beliau menukil perkataanku seperti itu di beberapa tempat dari kitab -
kitabku. Ini benar, akan tetapi beliau -karena masih barunya dalam ilmu hadits-
tidak mampu membedakan antara metode pengkritikan tersebut dengan metode yang
saya pakai untuk menguatkan hadits Al-Haitsam yaitu dengan riwayat lima perawi
tsiqah yang meriwayatkan hadits dari Al-Haitsam.
Kemudian
beliau menyebutkan contoh kepada pembaca untuk menjelaskan pertentangan diriku
-menurut persangkaannya- dalam hal ini, yaitu hadits Mu’adz dalam perkara
“qadha” yang saya hukumi dengan kemungkarannya dengan beberapa sebab,
diantaranya Al-Harits bin ‘Amr yang ditsiqahkan oleh Ibnu Hibban. Beliau
menyangka bahwa setiap perawi yang ditisqahkan oleh Ibnu Hibban adalah perawi
yang majhul, apakah itu majhul ‘ain (perawi tersebut) atau majhul hal
(keadaan perawi tersebut). Dari sini, menjadi tersembunyilah kekeliruan dan
kesalahan beliau yang membawanya kepada perkataan beliau (pada halaman 56)
bahwa saya telah mengikuti kesalahan Ibnu Hibban dalam metode yang dimaksud.
Sekarang
akan saya bawakan bukti - bukti dari perkataan ulama yang menunjukan benarnya
metode yang saya ambil dan salahnya beliau dalam melemparkan tuduhan tersebut;
1-
Berkata Adz-Dzahabiy dalam biografi Malik bin Al-Khair
Az-Zubadiy :”Tumpuan kejujuran...meriwayatkan darinya Hayawah bin Syuraih, Ibnu
Wahb, Zaid bin Al-Habbab dan Rusydin. Berkata Ibnu Al-Qhathan :”Dia termasuk
orang yang diragukan keadilannya...”. Yaitu dia menghendaki -dengan ucapannya
itu- bahwa Malik bin Al-Khair tidak ada seorangpun yang mentsiqahkan
dirinya...sedang jumhur -berpendapat- bahwa jika ada perawi yang telah meriwayatkan
darinya sekelompok orang dan tidak ada seorang pun yang mengingkari dirinya
maka sesungguhnya haditsnya shahih”. Dan Ibnu Hajar juga menerima kaidah ini di
dalam kitabnya Lisanul Mizan, namun keduanya abstain dalam menyebutkan biografi
perawi tersebut dalam Ats-Tsiqqat Ibnu Hibban (7/460) dan dalam Atba’ut
Tabi’in, seperti Al-Haitsam bin Imran ini. Maka berdasarkan kaidah ini -yang
kami ambil darinya dalam penshahihan hadits- Adz-Dzahabiy dan Al-Asqalaniy dan
selain mereka dari Hufadul Hadits mengambilnya untuk mentsiqahkan
sebagian perawi yang belum mendapatkan tautsiiq sama sekali sebelumnya.
Sebagai permisalan, lihatlah biografi
Ahmad bin Abadah Al-Amiliy dalam “Al-Kaasyif” milik Adz-Dzahabiy dan
“At-Tahdzib” milik Ibnu Hajar Al-Asqalaniy.
Adapun para perawi yang ditsiqahkan oleh Ibnu Hibban yang
mereka setujui pula, bahkan tidak jarang mereka berkata tentang perawi - perawi
tersebut :”Shaduuq”. Kadang - kadang juga berkata :”Mahallu As-Shidq (Tumpuan
kejujuran)”. Ini semua termasuk lafadh ta’dil (lafadh untuk metsiqahkan
seorang perawi) sebagaimana yang diketahui, dan jumlah para perawi yang semisal
ini ratusan, maka sekarang saya sebutkan sepuluh diantaranya dari “Tahdzibut
Tahdzib” sesuai abjad Alif sebagai permisalan, supaya para pembaca berada dalam
kejelasan dalam perkara ini :
a.
Ahmad bin Tsabit Al-Jahdari
b.
Ahmad bin Muhammad bin Yahya Al-Bashriy
c.
Ahmad bin Musharrif Al-Yaamiy
d.
Ibrahim bin Abdullah bin Al-Harits Al-Jumahiy
e.
Ibrahim bin Muhammad bin Abdullah Al-Asadiy
f.
Ibrahim bin Muhammad bin Mu’awiyah bin Abdullah
g.
Ishaq bin Ibrahim bin Dawud As-Siwaq
h.
Isma’il bin Ibrahim bin Al-Balisi
i.
Isma’il bin Mas’ud bin Al-Hakam bin Az-Zarqiy
j.
Al-Aswad bin Sa’id Al-Hamdaniy
Semua perawi diatas ditsiqahkan oleh Ibnu Hibban seorang, dan
Al-Hafidh Ibnu Hajar mengomentari :”Apa yang saya sebutkan tadi termasuk ibarat
saya di dalam tautsiiq (pentsiqahan perawi)”, hal ini juga disetujui
oleh para Huffadzul Hadits yang selainnya, yaitu tentang pentsiqahan sebagian
perawi - perawi tersebut, dan yang selain mereka serta para perawi yang semisal
keadaan mereka. “. (Lihat Tamamul Minnah Hal. 204 - 205)
Kesimpulan dari perkataan Syaikh Al-Albaniy rahimahullah
adalah bahwasanya perawi bernama Al-Haitsam haditsnya diterima karena perawi
yang seperti ini dan yang semisal dengan keadaannya termasuk perawi yang
tsiqah, walaupun yang mentsiqahkan dirinya hanyalah Ibnu Hibban, namun karena
ada beberapa orang perawi yang tsiqah yang meriwayatkan hadits dari Al-Haitsam
menjadikan haditsnya menjadi kuat. Berikut ini daftar perawi yang meriwayatkan
hadits dari Al-Haitsam berikut keadaannya :
·
Yunus bin Bukair : Telah berlalu biografi beliau dan
kesimpulannya beliau adalah perawi yang shaduuq haditsnya hasan.
·
Al-Haitsam bin Kharijah : Beliau adalah Abu Ahmad
Al-Haitsam bin Kharijah Al-Khurasaniy wafat tahun 227 H, beliau oleh Ahli
Hadits dijuluki sebagai Syu’bah bin Al-Hajjaj kecil (Yaitu seorang Imam Ahli
Hadits). Berkata Yahya bin Ma’in :”Tsiqah”. Berkata Abu Hatim :”Shaduuq”.
Berkata An-Nasa’i :”Tidak mengapa dengannya”. Berkata Ibnu Qani’ :”Tsiqah”.
Berkata Al-Khaliliy :”Tsiqah Mutafaqun ‘Alaihi”. Imam Ahmad juga menilai
dirinya tsiqah serta menulis hadits darinya. Beliau termasuk perawi Bukhari,
An-Nasa’i, Ibnu Majah, Al-Harabiy, Ibnu Abi Syaibah, Abu Ya’la Al-Maushiliy,
Al-Bazzar dll. Biografi beliau juga dimasukan oleh Ibnu Hibban ke dalam kitab “Ats-Tsiqaat”.
Maka kesimpulan yang benar tentang beliau -Allahu A’lam- adalah, beliau
perawi yang tsiqah. (Lihat Tahdzibul Kamal (30/374-378), Ats-Tsiqaat (9/236),
Kitaabut Thabaqaat Al-Kabiir (9/345), Tahdziibut Tahdziib (4/296)).
·
Muhammad bin Wahb bin ‘Athiyah : Beliau adalah Abu
Abdillah Muhammad bin Wahb bin ‘Athiyah Ad-Dimasyqiy, dikatakan Muhammad bin
Wahb bin Sa’id bin ‘Athiyyah. Beliau termasuk rijaal (perawi) Imam
Bukhari dan Ibnu Majah. Berkata Abu Hatim
tentangnya :”Shaalihul Hadits”. Berkata Ad-Daruquthniy :”Tsiqah”. Kesimpulannya
beliau adalah seorang perawi yang tsiqah -insya Allah-. (Lihat Tahdzibul
Kamal (26/599-602), Tahdziibut Tahdziib (3/725), Al-Kasyif
(2/229), Rijaal Shahih Al-Bukhari (2/684)).
·
Hisyam bin Ammar : Abul Waliid Hisyam bin Ammar bin
Nushair bin Maisarah bin Abaan As-Sulamiy Ad-Dimasyqiy wafat pada tahun 244 H,
beliau seorang khatib di Masjid Jami’ yang ada di Damaskus. Termasuk Rijaal
Bukhari, Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibnu Majah, Baqiy bin Makhlad Al-Andalusiy, dll.
Berkata Yahya bin Ma’in :”Tsiqah”. Berkata Al-Ijiliy :”Tsiqah”. Ditempat lain
beliau berkata :”Shaduuq”. An-Nasa’i berkata :”Tidak mengapa dengannya”.
Ad-Daruquthniy berkata :”Shaduuq, besar kedudukannya”. Abu Hatim ditanya
tentangnya dan menjawab :”Shaduuq”. Berkata ‘Abdan :”Tidak ada di dunia ini
yang semisal dengannya”. Ibnu Hibban memasukan beliau kedalam “Ats-Tsiqaat”
begitu pula Al-Ijiliy dalam “Ma’rifatus Tsiqaat”. Kesimpulannya beliau sekurang
- kurangnya adalah perawi yang shaduuq, adapun cacat beliau seperti
mengambil upah dari hadits, dan talqin beliau di masa - masa tuanya insya Allah
tidak sampai memudharatkan hadits beliau sebagaimana perkataan para ulama,
berkata Maslamah :”Dia diperbincangkan, namun dia seorang yang shaduuq dan
haditsnya diterima”. (Lihat Tahdziibul Kamaal (3/242-255), Tahdziibut
Tahdziib (4/276-277), Ma’rifatus Tsiqaat (2/333)).
·
Sulaiman bin Syarhabil : Beliau adalah Abu Al-Qasim
Sulaiman bin Syarhabil Al-Jublaaniy. Meriwayatkan darinya Hariz bin Utsman. Berkata
Ibnu Abi Hatim :”Aku mendengar ayahku berkata :”Sulaiman bin Syarhabil shaduuq,
mustaqimul hadiits, akan tetapi ia meriwayatkan hadits dari perawi -
perawi yang dhaif dan majhul”. (lihat Tahdziibul Kamaal (12/29), Fathul
Baab Fii Al-Kunaa Wa Al-Alqaab (No. 33 Hal. 86)). Sedikit sekali ahli
sejarah yang menukil biografi beliau, berpegang kepada tautsiiq Imam Jarh Wa
Ta’dil Abu Hatim Ar-Raziiy, maka beliau termasuk perawi yang shaduuq
-insya Allah-.
Maka dengan periwayatan dari kelima perawi yang tsiqah diatas
hadits Al-Haitsam -yang mana beliau hanya mendapat tautsiiq dari Ibnu
Hibban- menjadi kuat dan bisa dijadikan hujjah -Allaahu A’lam-. Dan semakin
menguatkan perkataan kami adalah apa yang dikatakan oleh Abdurahman bin Abi
Hatim Ar-Raziy, beliau berkata :”Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang
riwayat para perawi tsiqah yang meriwayatkan dari perawi yang tidak tsiqah,
apakah hal tersebut bisa menguatkan riwayat perawi yang tidak tsiqah
tersebut?”. Beliau menjawab :”Apabila ia terkenal dengan kedhaifaannya maka hal
tersebut tidak mampu menguatkan riwayatnya,
namun apabila ia majhul (tidak diketahui keadaannya) maka riwayat
perawi yang tsiqah darinya mampu menguatkan riwayatnya”. (Lihat Al-Jarh Wa
Ta’dil (Juz 1/Bag. 1/Hal. 36).
Dan sebagai tambahan faidah supaya kita lebih mantap dalam mengambil
hadits Al-Haitsam yang dinilai sebagian orang merupakan perawi yang majhul,
adalah perkataan Al-Hafidh As-Sakhawiy dalam kitab beliau Fathul Mughits
:
“Benar, banyaknya periwayatan para perawi yang tsiqah dari
seorang perawi akan menguatkan persangkaan baik bagi dirinya, adapun para
perawi yang majhul yang tidak meriwayatkan darinya kecuali para perawi yang
dhaif maka riwayat mereka ditinggalkan disetiap kondisi, sebagaimana yang
dikatakan oleh Ibnu Hibban”.
Kemudian beliau menyebutkan pendapat Ibnu Mawwaq bahwa
periwayatan perawi tsiqah dari seorang perawi majhul yang menjadikan riwayatnya
kuat merupakan pendapat kebanyakan ahli hadits, semisal Al-Bazzar dan
Ad-Daruquthiy, dan kaidah dari Ad-Daruquthniy adalah barangsiapa yang telah
meriwayatkan darinya dua orang perawi yang tsiqah maka telah terlepas darinya
sifat majhul (tidak dikenalnya) dan telah tetap baginya sifat ‘adaalah
(kredibelitasnya). (Lihat Fathul Mughits (2/213)).
Walaupun ada sebagian ahli hadits yang menganggap bahwa
periwayatan seorang yang tsiqah terhadap seorang perawi yang majhul bukan
merupakan ta’dil (pentsiqahan) baginya, namun cukuplah bagi kita
berpegang kepada pendapat Huffadhul hadits dan Imam Jarh Wa Ta’dil semisal ;
Abu Hatim Ar-Raziy, Ibnu Abi Hatim, Al-Bazzar, Ad-Dzruquthniy, Ibnu Hajar,
Adz-Dzahabiy dan lain - lain, bahwa periwayatan para perawi yang tsiqah dari
perawi yang majhul, menjadikan riwayat tersebut kuat.
Apalagi dalam keadaan ini Al-Haitsam tidak sepenuhnya majhul,
namun ia diberi tautsiiq oleh Ibnu Hibban meskipun beliau tidak
menyebutkan lafadh - lafadh ta’dil, namun disisi Ibnu Hibban, Al-Haitsam adalah
seorang perawi yang tsiqah, kemudian ditunjang dengan periwayatan lima orang
perawi yang tsiqah darinya sebagaimana telah berlalu, dan pendapat para Imam Jarh
Wa Ta’dil mengenai perawi yang keadaannya semisal ini, serta hukum asal dari
penerimaan riwayat adalah husnu zhan (berbaik sangka) terhadap perawi
(selama mereka muslim) sebagaimana di katakan oleh As-Sakhawiy :”Karena
diterimanya riwayat - riwayat itu dibangun berdasarkan persangkaan baik
terhadap perawi”. (Lihat Fathul Mughits (2/214)).
Maka cukuplah bagi kita untuk mengakui bahwasanya hadits dari
Al-Haitsam adalah kuat dan boleh dijadikan hujjah, Allahu a’lam.
Kesimpulan akhir : Al-Haitsam adalah perawi yang haditsnya diterima dan boleh
dijadikan hujjah, adanya lima orang perawi tsiqah yang meriwayatkan hadits
darinya menjadi bukti bahwa haditsnya kuat dan diterima. Adapun hujjah sebagian
orang yang mengatakan hadits Al-Haitsam boleh diterima selagi ia tidak
meriwayatkan hadits yang gharib, dan kaitannya disini beliau telah meriwayatkan
hadits yang gharib tentang Al-‘Ajn (mengepalkan tangan), yang mana tambahan
lafadh ini tidak disebutkan di dalam hadits yang lebih kuat darinya, maka kita
katakan, kedudukan hadits Al-Haitsam sebagaimana yang telah berlalu adalah
kuat, dan boleh dijadikan hujjah, maka selagi hadits itu kuat dan boleh
dijadikan hujjah, tambahan lafadh yang ada di dalamnya termasuk sebagai
tambahan ilmu, karena tambahan lafadh tersebut tidak bertentangan dengan lafadh
bertelekan tangan di atas bumi, melainkan sebagai tambahan haiah (bentuk)
mengepalkan tangan ketika bertumpu di atas bumi dengan kedua tangan.
Mengenai hal ini (yaitu tambahan lafadh dari riwayat tsiqah)
Ibnu Shalah telah menjelaskannya di dalam kitabnya Muqadimmah Ibnu Shalah :
“Saya berpendapat apa yang di riwayatkan oleh perawi tsiqah
yang ia menyendiri dalam periwayatannya terbagi menjadi tiga macam :
1. Jika riwayatnya
menyelisihi dan bertentangan dengan riwayat semua perawi tsiqah, maka hukumnya
tertolak (tidak diterima) sebagaimana yang telah berlalu dalam pembahasan Syadz.
2. Jika riwayatnya
tidak menyelisihi dan tidak bertentangan sama sekali dengan riwayat selainnya,
seperti hadits yang menyendiri di dalam periwayatannya beberapa perawi tsiqah
yang tidak bertentangan dengan apa yang diriwayatkan oleh selainnya, maka
hukumnya maqbuul (diterima), Al-Khatib Al-Baghdadiy menilai hal ini
sebagai kesepakatan para ulama. Adapun contoh tentang hal ini maka telah
berlalu pembahasannya dalam bagian Syadz.
3. Yang ketiga
yaitu apa yang kedudukannya diantara dua kedudukan diatas...”. (Lihat Muqadimmah
Ibnu Shalah Hal. 251)
Kemudian Ibnu Shalah membawakan contoh yang amat panjang, yang kesimpulannya
dalam pembahasan kita yaitu, bahwa dalam riwayat ini, Al-Haitsam termasuk
menyendiri dalam periwayatan lafadh Al-‘Ajn, namun jika kita merujuk kepada
perkataan Ibnu Shalah diatas maka tambahan riwayat dari hadits Al-Haitsam
merupakan tambahan yang tidak bertentangan dengan hadits yang lain, karena
Al-‘Ajn (mengepalkan tangan) merupakan haiah (bentuk) dari bertumpunya
tangan di atas bumi ketika bangkit dari sujud, dan ini kita katakan hal itu
merupakan sebuah tambahan ilmu yang boleh kita amalkan, Allahu a’lam.
Beliau adalah Abu Yahya
Al-Himsiy ‘Athiyah bin Qais Al-Kilaabiy dikatakan Al-Kalaa’iy, Ad-Dimasyqiy,
Tabi’in wafat tahun 121 H. Beliau termasuk rijaal Bukhari dan Muslim.
Beliau merupakan salah satu perawi hadits yang masyhur “Buniyal Islaamu ‘ala
khamsin”. Mengambil hadits dari sahabat - sahabat besar, seperti Ibnu Umar, Abu
Darda, Ibnu Amr, Nu’man bin Basyir, Mu’awiyah radhiallahu anhum. Beliau
juga seorang mujahid, berperang bersama Abu Ayub Al-Anshariy di masa
pemerintahan Mu’awiyah. Berkata Abu Hatim tentangnya :”Shaalihul hadiits”.
Berkata Abdul Wahid bin Qais :”Orang - orang membetulkan mushaf - mushaf mereka
berdasarkan bacaan ‘Athiyah bin Qais”. Berkata Sa’id bin Al-Aziz :”Kami sungkan
untuk membuka obrolan seputar dunia di hadapan ‘Athiyah bin Qais”. (Lihat Tahdzibul Kamaal (20/153 - 157),
Kitaabut Thabaqaat Al-Kabiir (9/464), Al-Jarh Wa At-Ta’dil
(6/383-384), Tahdziibut Tahdziib (3/115-116), Rijaalu Shahih Bukhari (2/878-879), Siyar A’lamin Nubala
(5/324-325)).
Kesimpulan : Kedudukan beliau disisi ahli
hadits tidak diragukan lagi, bahwa beliau adalah perawi yang tsiqah.
Beliau adalah Al-Azraq bin Qais Al-Haritsiy, seorang tabi’in
meriwayatkan hadits dari Ibnu Umar, Anas bin Malik, Abu Barzah Al-Aslamiy
radhiallahu ‘anhum. Beliau termasuk rijaal Bukhari, Abu Dawud dan An-Nasa’i.
Berkata An-Nasa’i :”Tsiqah”. Berkata Ibnu Sa’ad :”Tsiqah insya Allah”. Berkata
Ibnu Ma’in :”Tsiqah”. Berkata Abu Hatim :”Shaalihul hadits”. Berkata
Ad-Daruquthniy :”Tsiqah dan terpercaya”. Ibnu Hibban menyebutkannya dalam kitab
Ats-Tsiqaat. (Lihat Tahdziibut Tahdziib (1/103-104), Tahdziibul Kamaal
(2/318-319)).
Kesimpulan
: Al-Azraq bin Qais
adalah perawi yang tsiqah.
Derajat
Hadits :
Dengan berkumpulnya para
perawi yang tsiqah dalam sanad hadits “Al-Ajn” riwayat Al-Harabiy, yaitu :
“Telah menceritakan kepada kami
Ubaidillah bin Umar, telah menceritakan kepada kami Yunus bin Bukair dari
Al-Haitsam dari Athiyah bin Qais dari Al-Azraq bin Qais berkata :”Aku melihat
Ibnu Umar melakukan ‘Ajn di dalam shalat, bertelekan dengan kedua tangannya
ketika bangkit, maka aku bertanya kepadanya -kenapa beliau melakukannya-?.
Beliau menjawab :”Aku melihat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam
melakukannya”.
Menjadikan
hadits tersebut kuat dan boleh diamalkan serta dijadikan hujjah, adapun derajat
hadits tersebut maka tidak turun dari derajat hasan, Allahu a’lam.
3.
Hadits Dari Ibnu Umar
أخبرنا أبو نصر بن قتادة أنبأ أبو محمد أحمد بن إسحاق بن شيبان بن
البغدادي بهراة أنبأ معاذ بن نجده ثنا كامل بن طلحة ثنا حماد هو بن سلمة عن الأزرق
بن قيس قال : رأيت بن عمر إذا قام من الركعتين اعتمد على الأرض بيديه فقلت لولده
ولجلسائه لعله يفعل هذا من الكبر قالوا لا ولكن هذا يكون
“Menceritakan kepada kami Abu Nashr bin Qatadah, mengabarkan
kepada kami Abu Muhammad Ahmad bin Ishaq bin Syaiban bin Al-Baghdadiy Bahrah,
mengabarkan kepada kami Mu’adz bin Najdah, menceritakan kepada kami Kamil bin
Thalhah, menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah, dari Al-Azraq bin Qais
berkata :”Aku melihat Ibnu Umar apabila bangkit dari raka’at kedua, bertelekan
dengan kedua tangannya diatas bumi, maka aku bertanya kepada anaknya dan teman
- teman duduk sejawatnya, barangkali beliau melakukan hal itu karena usianya
yang tua?”. Mereka menjawab :”Tidak, akan tetapi demikianlah halnya”.
Takhrij Hadits :
Hadits ini
diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam As-Sunan Al-Kubra (2/135).
Derajat
Hadits :
Sanadnya jayyid.
Berkata Syaikh Al-Albaniy :”Sanadnya jayyid dan para perawinya
seluruhnya tsiqah”. (Silsilah Ad-Dhaifah (2/392)).
Penjelasan Hadits :
a. Makna Al-‘Ajn
Kata Al-‘Ajn di dalam bahasa Arab dapat kita tinjau dari dua
sisi; yang pertama ditinjau dari orang yang disifati dengan Al-‘Ajn yaitu
seorang yang sudah tua renta, yang bertumpu dengan tangannya tatkala berdiri,
yang kedua adalah haiah (sifat) dari Al-‘Ajn itu sendiri yang
dinisbatkan kepada haiah orang yang membuat adonan dengan meremas -
remasnya, untuk kemudian dalam permasalahan Al-‘Ajn di dalam shalat para ulama
berbeda pendapat dalam menafsirkannya :
·
Pendapat pertama Al-‘Ajn yang bermakna Al-‘Ajz (lemah)
dikarenakan usia.
Berkata
Ibnu Rajab Al-Hanbaliy tentang makna Al-‘Ajn yang termaktub di dalam hadits :”Berkata
sebagian ulama :”Al-‘Ajin maknanya adalah seorang yang sudah tua renta yang
bertelekan dengan kedua telapak tangannya tatkala berdiri, jadi bukan makna
al-‘ajin disini bertelekan tangan sebagaimana seorang yang meremas adonan”.
(Lihat Fathul Baari’ (7/293)).
Berkata
Imam Nawawi tatkala mengomentari hadits Ibnu Abbas di awal pembahasan :”Ini
adalah hadits dhaif, bathil, tidak ada asal - usulnya, dan lafadhnya
menggunakan nun (Al-‘Ajin bukan Al-‘Ajiz dengan zaiy), kalaupun hadits ini
shahih maka maknanya adalah berdiri dengan bertelekan kedua telapak tangan
sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang lemah, yaitu seorang yang tua renta,
dan bukan bermakna seperti orang yang meremas adonan”. (Lihat Al-Majmu’
(3/421)).
Beliau
Imam Nawawi juga menilai bahwa bertelekan dengan telapak tangan (bukan dengan
punggung tangan yaitu mengepal) merupakan sunah yang tidak ada perselisihan di
dalamnya, beliau rahimahullah berkata :”Dan apabila seseorang bertelekan
dengan kedua tangan tatkala bangkit ia menjadikan telapak tangan, dan telapak
jemarinya sebagai tumpuan diatas bumi, tanpa ada perselisihan dalam hal ini”. (Lihat Al-Majmu’ (3/421)).
Berkata
Ibnu Shalah :”Apabila sifat tua renta disini dipetik dari kalimat ‘aajinul
‘ajiin (orang yang meremas adonan), maka penyerupaan tersebut diambil semata -
mata karena kuatnya pensifatan dalam bertumpu dengan kedua tangan, bukan
pensifatan bentuk mengepalkan tangan -tatkala bangkit-“. (Lihat Al-Badru
Al-Muniir (3/680)).
Berkata
Syaikh Bakr Abu Zaid :”Adapun Al-’Ajn, jika merujuk kepada kamus bahasa arab
dan kitab - kitab yang membahas kalimat gharib (asing) memiliki dua pensifatan
: Yang pertama, haiah (bentuk) dari Al-‘Ajn adalah bertumpu dengan kedua
tangan sembari menghimpunnya, yaitu dengan punggung tangannya (mengepal)
layaknya orang yang meremas adonan, sebagaimana disebutkan di dalam Lisanul
Arab, Tajul ‘Arus dan selainnya. Yang kedua, haiah (bentuk)
dari al-‘ajn adalah bertumpu dengan kedua telapak tangan di atas bumi
sebagaimana orang yang tua renta bertumpu dengan kedua tangannya, jadi bukan
yang dimaksud disini adalah orang yang meremas adonan, sebagaimana disebutkan
di dalam Tajul ‘Arus, Al-Badru Al-Munir, dan selainnya, pendapat
yang terakhir ini dipilih oleh Imam Nawawi di dalam Al-Majmu’ dan Ibnu
Shalah di dalam Syarah Al-Wajiz”. (Al-Ajza Al-Haditsiyah Hal.
217)
· Pendapat kedua Al-‘Ajn berarti menggenggam,
mengepalkan tangan, meremas sebagaimana seorang yang meremas adonan.
Bekata
Ibnu Al-Atsir :”Dan di dalam hadits Ibnu Umar radhiallaahu ‘anhu {bahwasanya
beliau melakukan al-‘ajn di dalam shalat, maka ditanyakan kepadanya :”Apa
ini?”. Beliau menjawab :”Aku melihat Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi
Wasallam melakukan al-‘ajn di dalam shalat”}. Yakni maksudnya adalah
bertumpu dengan kedua tangan saat berdiri sebagaimana yang dilakukan oleh orang
yang meremas adonan. (Lihat An-Nihayah Fii Gharibil Hadits Wal Atsar
(3/188)).
Berkata
Abu Ishaq Al-Harabiy :”Perkataan -perawi- :”Aku melihat Ibnu Umar melakukan
al-‘ajn”. Yang dimaksud yaitu -bertumpu dengan- meletakan kedua tangan di atas
bumi sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang meremas adonan”. (Lihat Gharibul
Hadits Al-Harabiy (2/526)).
Berkata
Ibnu Al-Mandur :”Dan di dalam hadits Ibnu Umar, bahwasanya beliau melakukan
al-‘ajn di dalam shalat, maka di tanyakan kepada beliau :”Apa ini?”. Maka
beliau menjawab :”Sesungguhnya aku melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam melakukan al-‘ajn di dalam shalat”. Maksudnya yaitu bertelekan
dengan kedua tangannya tatkala bangkit sebagaimana yang dilakukan oleh orang
yang meremas adonan”. (Lihat Lisanul Arab (Hal. 2829)).
Yang nampak bagi kami di dalam permasalahan ini, -Allahu
a’lam- adalah bahwa semuanya benar dan boleh diamalkan, apakah itu yang
mengatakan bahwa yang benar adalah bertumpu dengan kedua telapak tangan, atau
yang mengatakan bertumpu dengan mengepalkan tangan, semua memiliki kemungkinan
dan semua benar. Bagi yang mengatakan bertumpu dengan kedua telapak tangan maka
masuk ke dalam keumuman hadits Malik bin Al-Huwairits yang insya Allah akan
kita sebutkan nanti, dan keumuman hadits al-‘ajn, sedangkan yang mengatakan bertumpu
dengan mengepalkan tangan maka berpegang kepada zhahir hadits diatas tentang
makna al-‘ajn.
Namun perlu diperhatikan disini, bahwa pensifatan haiah
(bentuk) bertumpu dengan mengepalkan tangan tatkala bangkit dari sujud hampir
tidak pernah disebutkan oleh para fuqaha di dalam literatur - literatur
mereka, di dalam kitab - kitab fiqih mazhab yang empat, pensifatan ini
kita katakan adalah pensifatan yang amat langka, orang yang diketahui pernah
menyebutkan pensifatan ini yaitu mengepalkan tangan tatkala bangkit dari sujud
adalah Al-Ghazaliy di dalam Al-Wajiz dan Al-Wasith, yang diikuti oleh
Ar-Rafi’i, dan penyebutan sifat tersebut oleh Al-Ghazaliy pun diingkari oleh
para fuqaha mazhab yang setelahnya, sehingga haiah al-‘ajn (mengepalkan
tangan tatkala bangkit) merupakan suatu haiah yang masih menyisakan
pertanyaan hingga saat ini, wajar saja karena mayoritas ahli ilmu terdahulu
tidak pernah mengamalkannya (Lihat Al-Ajza Al-Haditsiyah (Hal. 201-204)).
Namun hal ini bisa kita ketahui alasannya sebagai berikut
sebatas yang kami pahami, kebanyakan para fuqaha berpijak dengan hadits Ibnu
Abbas tentang Al-‘Ajn yang tidak samar lagi dhaifnya, ditunjang dengan hadits
Ibnu Umar yang tidak mereka sebutkan dalam pembahasan ini, hal ini bisa
disebabkan karena mereka juga mendhaifkan hadits Ibnu Umar, atau belum sampai
riwayat ini kepada mereka, Allahu a’lam. Yang jelas para ulama berbeda
pendapat dalam penshahihan hadits ini disebabkan periwayatan Yunus bin Bukair
dan Al-Haitsam, yang sekali lagi kami tekankan disini bahwa hadits tersebut
sekurang - kurangnya adalah hasan dan boleh dijadikan hujjah, maka selagi
hadits itu bisa dijadikan hujjah, boleh pula mengamalkan isi kandungan hadits
tersebut, yang dalam hal ini yaitu mengepalkan tangan tatkala bangkit dari
sujud, hanya saja menurut kami yang lebih tepat yaitu kita tidak boleh menjazm
(melegitimasi) harus dengan haiah (bentuk) mengepalkan tersebut, artinya
jika mau bertumpu maka lakukanlah sesekali gerakan bertumpu dengan mengepalkan
tangan, dan sesekali bertumpu dengan telapak tangan.
Pendapat ini pula lah yang dipegang oleh Syaikh Hamd bin
Abdullah Al-Hamd beliau berkata :”Berkata Syaikh kami di dalam syarh beliau
yang terakhir untuk Zadul Mustaqniy, di dalam perkemahan tahun 1420 H, yang
maknanya :”Dan Hanabilah (Pengikut mazhab hanbaliy) menjawab :”Bahwa kebanyakan
hadits yang ada dalam sifat shalat Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tidak
menyebutkan sifat bertumpu dengan kedua tangan, dan menyendiri dalam
periwayatan sunah ini adalah Malik bin Al-Huwairits, sedang beliau termasuk
orang yang terakhir masuk Islam, sehingga beliau menjumpai Nabi Shalallahu
‘Alaihi Wasallam sedang beliau tatkala itu memasuki usia renta, dan inilah yang
disebut dengan al-‘ajn atau al-‘ajiz, yaitu seorang yang bertumpu dengan kedua
tangan tatkala bangkit, maka beliau (Malik bin Al-Huwairits) telah menjumpai
Nabi dalam kondisi yang berat (untuk bangkit sehingga harus bertumpu), dan
inilah yang benar dalam permasalahan ini...”.
Kemudian beliau melanjutkan :”Dan bentuk dari Al-‘Ajn adalah
meletakan kedua tangan diatas bumi kemudian bangkit dengan bertumpu. Adapun
pengkhususan sunah dalam mengepalkan tangan sebagaimana orang yang meremas
adonan, maka pengkhususan ini lemah...”.
Beliau melanjutkan :”Maka dengan ini, jika ada seorang menganggap
bertumpu dengan kedua tangan tatkala berdiri itu adalah sunnah, boleh baginya
untuk bertumpu dengan berbagai macam bentuk, apakah itu dengan bentuk seperti
ini, atau seperti itu, tanpa mengkhususkan bentuk tertentu sebagai sunnah”.
(Lihat Syarh Zadul Mustaqniy - Syaikh Hamd (5/100). Syamilah)
Sehingga kami katakan boleh bagi seseorang bertumpu dengan
mengepalkan kedua tangan tatkala bangkit dari sujud berdasar zhahir hadits Ibnu
Umar, namun dengan catatan selagi ia membutuhkan gerakan tersebut karena sakit,
tua, atau lemah tidak mampu berdiri dengan kedua kaki sehingga harus bertumpu,
serta tidak mengkhususkan gerakan tersebut sebagai gerakan yang sunnah, karena
yang sunnah disisi kami sebagaimana akan kami sebutkan insya Allah adalah
seorang bangkit dengan kedua kakinya dari sujud tanpa bertumpu dengan kedua
tangan, Allahu a’lam.
b. Duduk
Istirahat dan I’timad atau bangkit dengan kedua kaki?
Pembahasan ini sangat erat kaitannya dengan hadits yang
diriwayatkan oleh Malik bin Al-Huwairits, yang lafadhnya sebagai berikut sebagaimana
diriwayatkan oleh Bukhari :
حدثنا
معلى بن أسد قال حدثنا وهيب عن أيوب عن أبي قلابة قال جاءنا مالك بن الحويرث فصلى
بنا في مسجدنا هذا فقال إني لأصلي بكم وما أريد الصلاة ولكن أريد أن أريكم كيف
رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يصلي قال أيوب فقلت لأبي قلابة وكيف كانت صلاته قال
مثل صلاة شيخنا هذا يعني عمرو بن سلمة قال أيوب وكان ذلك الشيخ يتم التكبير وإذا
رفع رأسه عن السجدة الثانية جلس واعتمد على الأرض ثم قام
“Telah menceritakan kepada kami Ma’la bin Asad, berkata telah
menceritakan kepada kami Wuhaib dari Ayub dari Abu Qilabah berkata :”Suatu
ketika Malik bin Al-Huwairits datang kepada kami, kemudian shalat bersama kami di Masjid kami ini, beliau berkata
:”Sesungguhnya aku shalat bersama kalian, dan tidaklah aku menghendaki demikian
kecuali karena aku ingin memperlihatkan kepada kalian, bagaimana aku melihat
Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam shalat”. Berkata Ayub :”Maka aku bertanya
kepada Abu Qilabah bagaimana kiranya shalat beliau”. Beliau menjawab
:”Shalatnya persis seperti shalat Syaikh kami ini, yaitu ‘Amr bin Salamah”.
Berkata Ayub :”Adapun Syaikh tersebut maka ia menyempurnakan takbir, dan
apabila ia mengangkat kepalanya dari sujud yang kedua, ia duduk untuk kemudian
bertumpu diatas bumi dan bangkit”.
Takhrij Hadits :
Derajat Shahih.
Diriwayatkan oleh
Al-Bukhari No. 824 Kitab Al-Adzan Bab Kaifa Ya’tamidu ‘Alal Ardhi
Idza Qaama Min Ar-Rak’ah, Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra No.
2759, 2760 (2/178-179) Kitab As-Shalat Bab Kaifa Al-Qiyam Mina
Al-Julus, Thabraniy dalam Al-Mu’jam Al-Kabir (19/287).
Penjelasan :
Hadits diatas menjelaskan tentang tata cara shalat yang diajarkan
oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam kepada Malik bin Al-Huwairits, yang
kesimpulannya dalam pembahasan ini adalah, bahwa di dalam hadits tersebut Nabi
Shalallahu ‘Alaihi Wasallam melakukan duduk istirahat setelah sujud, untuk
kemudian bertumpu dengan kedua tangannya untuk berdiri.
Sebagaimana yang telah kami sebutkan sebelumnya, bahwa sunnah ini
dilakukan ketika seseorang membutuhkannya saja, seperti karena ia seorang yang
tua, lemah, sakit, gemuk, dan yang lain sebagainya dari sebab - sebab yang
membolehkan seseorang untuk bertumpu dengan kedua tangan tatkala bangkit dari
sujud. Konteksnya di dalam hadits ini Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam
duduk istirahat dan bertumpu dengan kedua tangan karena beliau memang
membutuhkan hal tersebut, sebab hal ini terjadi di masa - masa akhir kehidupan
beliau, sebagaimana kita mengetahui bahwa Malik bin Al-Huwairits adalah sahabat
yang masuk Islam belakangan, beliau masih seorang pemuda tatkala datang belajar
kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam di akhir - akhir kehidupan
beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, sehingga sangat wajar jika Nabi Shalallahu
‘Alaihi Wasallam duduk istirahat dan bertumpu dengan kedua tangan tatkala
berdiri di dalam hadits tersebut, karena beliau memang membutuhkan.
Kesimpulannya seorang yang tidak mampu berdiri dengan kedua
kakinya dari sujud disunahkan baginya untuk duduk istirahat dan bertumpu dengan
kedua tangan untuk bangkit berdiri.
Adapun alasan mengapa kami menguatkan pendapat ini bahwa yang
disunahkan adalah bertumpu dengan kedua kaki tatkala bangkit dari sujud, yaitu
karena terdapat dalil - dalil pendukung yang menguatkan pendapat kami, yang
bisa kita rincikan sebagai berikut :
1.
Datangnya riwayat
- riwayat yang sangat banyak jumlahnya dari para sahabat Nabi yang termasuk
sahabat - sahabat kibar (besar) bahwasanya mereka berdiri dari sujud
dengan bertumpu pada kedua kaki. Semisal Umar, ‘Aly bin Abi Thalib, Abdullah
bin Mas’ud, Ibnu Umar, Radhiallahu ‘Anhum dan lain - lain yang mana mereka
semua berdiri dengan bertumpu pada kedua kaki mereka, lihatlah riwayat -
riwayat berikut ini :
·
Ibnu Abi Syaibah
di dalam Mushanifnya
Beliau membuat bab khusus yaitu “Bab orang - orang yang bangkit
dengan bertumpu pada kedua kaki”. Serta “Bab perkataan seseorang :”Apabila
engkau mengangkat kepalamu dari sujud kedua pada raka’at pertama maka jangan
duduk”.
1)
Telah
menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah dari Al-A’masy dari Ibrahim dari
Abdurrahman bin Yazid berkata :”Adalah Abdullah (bin Mas’ud) apabila bangkit di
dalam shalat menggunakan kedua kakinya”.
2)
Telah
menceritakan kepada kami Waki’ dari Muhammad bin Yazid dari Yazid bin Ziyad bin
Abi Al-Ja’d dari Ubaid bin Abi Al-Ja’d berkata :”Adalah ‘Aliy apabila bangkit
di dalam shalat menggunakan kedua kakinya”.
3)
Telah
menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah dari Al-A’masiy dari Khaitsamah dari
Ibnu Umar, bahwa :”Aku pernah melihatnya bangkit di dalam shalat dengan
menggunakan kedua kaki”.
4)
Telah
menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar dari Isa bin Maisarah dari
Asy-Sya’biy berkata :”Bahwasanya Umar dan Aliy serta para sahabat Nabi Shalallahu
‘Alaihi Wasallam mereka apabila berdiri di dalam shalatnya menggunakan
kedua kaki mereka”.
5)
Telah
menceritakan kepada kami Humaid bin Abdurrahman dari Hisyam bin Urwah dari Wahb
bin Kisan, berkata :”Aku melihat Abdullah bin Zubair apabila sujud pada sujud
yang kedua ia bangkit sedemikian halnya dengan bertumpu pada kedua kaki”.
6)
Telah
menceritakan kepada kami Waki’ dari Usamah dan Umariy dari Nafi’ dari Ibnu
Umar, bahwasanya ia berdiri di dalam shalatnya menggunakan kedua kakinya”.
7)
Telah
menceritakan kepada kami Isma’il bin Ibrahim dari Abi Al-Mu’alla dari Ibrahim
berkata :”Adalah Ibnu Mas’ud pada raka’at pertama dan ketiga di dalam shalat
ketika hendak bangkit tidak duduk terlebih dahulu”.
8)
Telah
menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar dari Muhammad bin Ajlan dari
Nu’man bin Abi ‘Ayyas, berkata :”Aku menjumpai lebih dari satu sahabat Nabi
Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, mereka apabila mengangkat kepalanya dari sujud
pada raka’at pertama dan ketiga berdiri secara langsung tanpa duduk terlebih
dahulu”.
(Lihat Mushannif Ibnu Abi Syaibah (3/330-332)).
Mengenai riwayat - riwayat ini Syaikh Albaniy berkata :”Faidah,
Ibnu Abi Syaibah di dalam Mushanifnya (1/157) meriwayatkan dari sebagian salaf
diantaranya Ibnu Mas’ud, Aliy, Ibnu Umar dan yang selainnya dengan sanad -
sanad yang shahih bahwasanya mereka semua berdiri di dalam shalat dengan
menggunakan kedua kaki mereka”. (Lihat Irwaul Ghalil (2/84)).
·
Al-Baihaqiy dalam
Sunan Al-Kubra
1)
Dari Abdurahman
bin Yazid bahwasanya dia melihat Abdullah bin Mas’ud bangkit di dalam shalat
menggunakan kedua kakinya.
2)
Dari Khaitsamah
bin Abdurrahman berkata :”Aku melihat Abdullah bin Umar bangkit di dalam shalat
dengan kedua kakinya”.
(Lihat As-Sunan Al-Kubra Ma’a Dzailihi (2/125)).
Riwayat
- riwayat tersebut sanadnya adalah shahih, dengan begitu maka menjadi jelaslah
bahwa mayoritas sahabat Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tatkala bangkit dari
sujud berdiri dengan menggunakan kedua kaki bukan bertumpu dengan kedua tangan,
sedang Malik bin Al-Huwairits menyendiri di dalam periwayatannya dalam hal
bertumpu tatkala bangkit, jika ada yang menyanggah kami dengan mengatakan
kedudukan hadits Malik bin Al-Huwairits adalah lebih shahih dan marfu’
dibanding riwayat - riwayat tersebut yang mauquf, maka kita katakan bahwa
riwayat - riwayat tersebut memang mauquf secara sanad namun dari segi hukum
adalah marfu’ sampai kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam karena
riwayat - riwayat tersebut mengandung sebuah amalan yang urgen yang tidak masuk
di dalamnya wilayah ijtihad dari para sahabat, jadi para sahabat melakukan hal
tersebut semata - mata karena mencontoh sifat shalat Nabi Shalallahu ‘Alaihi
Wasallam yang mereka saksikan setiap harinya.
Lagipula
kami tidak menafikan riwayat dari Malik bin Al-Huwairits namun kami memberi
ta’lil (alasan) bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam duduk dan
bertumpu karena beliau membutuhkan hal tersebut di akhir - akhir kehidupan
beliau, sehingga antara riwayat - riwayat tersebut yang shahih tidak saling
bertentangan, bedakan halnya dengan orang yang menganggap sunah secara mutlak
untuk duduk istirahat dan bertumpu dengan kedua tangan, bagaimana bisa mereka
menafikan atsar - atsar yang shahih dari sahabat Nabi Shalallahu ‘Alaihi
Wasallam, sehingga apa yang kami pilih insya Allah yang lebih mendekati
kebenaran, karena pilihan ini sanggup mengkompromikan riwayat - riwayat yang
shahi tersebut tanpa harus menafikan salah satunya, Allahu a’lam.
2.
Asbabul wurud
hadits dari Malik bin Al-Huwairits terjadi di akhir - akhir kehidupan Nabi Shalallahu
‘Alaihi Wasallam, yang sangat kuat mengindikasikan bahwa Nabi Shalallahu
‘Alaihi Wasallam melakukan hal itu karena beliau memang membutuhkannya
sebab usia beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasallam yang sudah tua.
3.
Apabila ada
seorang yang beragumen kepada kami dengan atsar dari Ibnu Umar, sebagaimana
hadits dalam pembahasan ini, kami sebutkan kembali :
“Dari Al-Azraq bin Qais
berkata :”Aku melihat Ibnu Umar apabila bangkit dari raka’at kedua, bertelekan
dengan kedua tangannya diatas bumi, maka aku bertanya kepada anaknya dan teman
- teman duduk sejawatnya, barangkali beliau melakukan hal itu karena usianya
yang tua?”. Mereka menjawab :”Tidak, akan tetapi demikianlah halnya”. (HR. Al-Baihaqiy
dalam As-Sunan Al-Kubra (2/135)).
Di dalam atsar ini anak
Ibnu Umar dan teman - teman sejawatnya mengatakan bahwa Ibnu Umar bertelekan
tangannya tatkala bangkit dari sujud tidak dikarenakan usianya yang tua, namun
demikian halnya beliau senantiasa melakukannya. Kita katakan : Ibnu Umar
memiliki dua riwayat dalam hal ini; yang pertama riwayat beliau yang bangkit
dari sujud dengan menggunakan kedua kaki sebagaimana telah disebutkan dalam
riwayat Ibnu Abi Syaibah, tidak mengapa kita sebutkan kembali :
“Telah menceritakan
kepada kami Abu Mu’awiyah dari Al-A’masiy dari Khaitsamah dari Ibnu Umar, bahwa
:”Aku pernah melihatnya bangkit di dalam shalat dengan menggunakan kedua kaki”.
(Lihat Mushannif Ibnu Abi Syaibah (3/330-332)).
Di dalam riwayat
tersebut disebutkan Ibnu Umar berdiri dari sujud dengan menggunakan kedua kaki
bukan dengan duduk istirahat terlebih dahulu kemudian bertumpu diatas bumi,
apakah kita akan menafikan pula riwayat yang shahih tersebut?.
Kita katakan, sungguh
hal ini juga dapat dikompromikan, penjelasannya sebagai berikut, bahwa
kemungkinan besar beliau Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma melakukan hal
tersebut setelah beliau mendapat musibah berupa patah tulang tangan dan kaki
sebagaimana yang terjadi di Khaibar, saat Yahudi Khaibar mematahkan tangan dan
kaki beliau tatkala beliau hendak mengambil hartanya disana (tentang kisahnya
lihat HR. Bukhari No. 2730, Kitab Syuruth Bab Idza Usturitha Fil Muzara’ah),
yang cuplikannya demikian :
عن نافع عن ابن عمر رضي
الله عنهما قال لما فدع أهل خيبر عبد الله بن عمر قام عمر خطيبا فقال إن رسول الله
صلى الله عليه وسلم كان عامل يهود خيبر على أموالهم وقال نقركم ما أقركم الله وإن
عبد الله بن عمر خرج إلى ماله هناك فعدي عليه من الليل ففدعت يداه ورجلاه...
Dari Nafi’ dari
Ibnu Umar Radhiallahu ‘anhuma berkata :”Tatkala Yahudi Khaibar mematahkan
-tulang- Abdullah bin Umar, maka berdirilah Umar untuk berkhutbah, beliau
berkata :”Sesungguhnya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam telah bermuamalah
dengan Yahudi Khaibar atas harta mereka”. Beliau berkata :”Kami mengakui kalian
sebagaimana Allah juga menganggap kalian, akan tetapi ini Abdullah bin Umar
pergi untuk mengambil hartanya disana, namun ia dizhalimi, di suatu malam
sehinga kedua tangan dan kakinya bengkok (patah)....”. (HR. Bukhari No. 2730)
Yang pastinya hal ini
menjadikan keadaan fisik beliau tidak bisa kembali seperti semula, tulang
beliau menjadi bengkok, sampai - sampai diriwayatkan beliau duduk bersila
tatkala tasyahud, (kisah selengkapnya di dalam Shahih Al-Bukhari Kitab Al-Adzan
Bab Sunatul Julus Fii At-Tasyahud) :
عن عبد الله بن عبد الله
أنه أخبره أنه كان يرى عبد الله بن عمر رضي الله عنهما يتربع في الصلاة إذا جلس
ففعلته وأنا يومئذ حديث السن فنهاني عبد الله بن عمر وقال إنما سنة الصلاة أن تنصب
رجلك اليمنى وتثني اليسرى فقلت إنك تفعل ذلك فقال إن رجلي لا تحملاني
Dari Abdullah
bin Abdullah, beliau mengabarkan bahwasanya dahulu pernah melihat Abdullah bin
Umar radhiallahu ‘anhuma duduk bersila di dalam shalat ketika posisi duduk
(tasyahud), maka aku pun menirunya sedang ketika itu aku masih kecil, maka
beliau melarang aku melakukannya, seraya berkata :”Sesungguhnya duduk yang
sunah di dalam shalat, adalah engkau menegakan kaki kananmu dan duduk diatas
kaki kirimu”. Maka aku menjawab :”Akan tetapi kok anda melakukan seperti itu?”.
Beliau menjawab :”Sesungguhnya kedua kakiku ini tidak kuat untuk menopang”.
(HR. Bukhari No. 827, Kitab Al-Adzan Bab Sunatul Julus Fii At-Tasyahud).
Jika demikian halnya
kondisi Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma di akhir - akhir kehidupan beliau, maka
sungguh amat wajar jika beliau melakukan duduk istirahat dan bertumpu dengan
kedua tangannya tatkala berdiri, karena sesungguhnya beliau memerlukan, beda
halnya tatkala beliau masih muda dan kuat, serta belum mendapat musibah
tersebut, maka beliau menjadikan kedua kaki beliau sebagai tumpuan tatkala
berdiri, sehingga kedua riwayat yang semua berasal dari beliau yang seakan -
akan bertentangan bisa dikompromikan.
Mengenai
alasan teman - teman beliau yang mengatakan beliau tidak melakukan al-‘ajn
karena usianya tua namun demikianlah halnya, kita katakan benar demikianlah
halnya beliau melakukannya karena musibah yang beliau alami, dan sangat
memungkinkan, bahwa teman - teman duduk Ibnu Umar hanya mengetahui shalat Ibnu
Umar setelah beliau terkena musibah, karena sebelum terkena musibah tentunya
Ibnu Umar berdiri dengan menggunakan kedua kakinya tatkala bangkit, sebagaimana
riwayat yang telah berlalu.
Sehingga
menjadi jelaslah kebenarannya -insya Allah- pendapat yang kami kuatkan ini, Allahu
a’lam.
Kesimpulan Akhir Dari Pembahasan :
Maka
kesimpulan akhir dari pembahasan ini sekaligus sebagai ringkasannya adalah :
1)
Hadits Al-‘Ajn derajatnya tidak kurang dari derajat
hasan, sehingga boleh dijadikan hujjah.2)
Hadirnya beberapa riwayat tentang keumuman bertumpu
dengan kedua tangan, tanpa menyebutkan bentuk Al-‘Ajn (mengepal), beserta
riwayat - riwayat yang menunjukan bertumpu pada kedua kaki, menjadikan kita
tidak boleh untuk menjazm bahwa bentuk Al-‘Ajn adalah bentuk yang sunnah,
melainkan itu sebuah bentuk yang mubah, yang tidak mengapa bagi seseorang melakukannya
selagi ada hajah, dan kuatnya riwayat tentang al-‘ajn menjadi indikasi bahwa haiah
(bentuk) tersebut adalah tidak dilarang dan tidak diada - adakan, bertolak
belakang dengan pendapat sebagian fuqaha yang menolak haiah tersebut ada
di dalam shalat.3)
Sebab diperbolehkannya duduk istirahat dan bertumpu
pada kedua tangan di atas bumi sewaktu berdiri adalah karena usia tua, gemuk,
sakit, dan sebab - sebab lain yang membolehkan hal tersebut.4)
Bagi seorang yang kuat maka yang sunah baginya ketika
bangkit dari sujud adalah bertumpu dengan kedua kaki, tanpa duduk istirahat dan
bertumpu dengan kedua tangan diatas bumi.
Demikianlah pembahasan takhrij hadits
al-‘ajn ini berikut penjelasan - penjelasannya beserta tarjihnya, mudah -
mudahan jerih payah yang tidak seberapa ini bisa bermanfaat bagi penulis dan kaum
muslimin sekalian, jika ada saran atau kritikan yang membangun dari para
Asatidzah, dan kaum muslimin sekalian berkenaan dengan pembahasan kami, maka
akan kami terima dengan senang hati. Mudah - mudahan Allah senantiasa
memberikan taufiq kepada kita semua untuk meniti jalan yang lurus yang diridhai
oleh-Nya, Amiin.
Diselesaikan dengan pertolongan Allah
pada, Senin, 23 Sya’ban 1434 H / 1 Juli 2013 M
________________________________
Referensi :
1.
Al-Wasith Fil Madzhab, Abul Hamid Al-Ghazaliy, Maktabah
Darussalam Tahqiq Ahmad Mahmud Ibrahim, Cetakan Pertama 1417 H / 1997 M2.
Al-Aziz Syarhul Wajiz (Syarhul Kabir), Abul Qasim Abdul
Karim bin Muhammad Ar-Rafi’i, Darul Kutub Ilmiyah - Beirut Lebanon, Tahqiq Ali
Muhammad Mu’awwad dan ‘Adil Ahmad Abdul Maujud, Cetakan Pertama 1417 H / 1997 M3.
At-Talkhis Al-Habir Fii Takhriji Ahaditsi Ar-Rafi’i
Al-Kabir, Abul Fadhl
Ahmad bin Aly bin Hajar Al-Asqalaniy, Mu’asasah Qurthubah, Tahqiq Abu ‘Ashim
Hasan bin Abbas, Cetakan Pertama 1416 H / 1995 M4.
Al-Badru Al-Munir Fii Takhrijil Ahaditsi Wal Atsar
Al-Waqi’ah Fiis Syarhil Kabir, Abu Hafsh Umar bin Ali bin Mulaqqin, Darul Hijrah, Tahqiq
Abdullah bin Sulaiman, Cetakan Pertama 1425 H / 2004 M5.
Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab, Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf
An-Nawawi, Maktabah Al-Irsyad - Jeddah, Tahqiq Muhammad Mujib Al-Muthi’i6.
Gharibul Hadits, Abu Ishaq Al-Harabiy, Darul Madani, Tahqiq Sulaiman bin
Ibrahim bin Muhammad Al-Ayid, Cetakan Pertama 1405 H / 1985 M7.
Taqribut Tahdzib, Al-Hafidh Ahmad bin Aliy Ibnu Hajar Al-Asqalaniy, Muasasah
Risalah, Tahqiq Adil Mursyid, Cetakan Pertama 1420 H / 1999 M8.
Kitabu Tsiqaat, Ibnu Hibban, Wizaratul Ma’arif Lil Hukumah Al-‘Aliyah
Al-Hindiyah, Raqib Doktor Muhammad Abdul Mu’id, Cetakan Pertama 1393 H / 1973 M9.
Tahdzibul Kamal Fii Asmaa’ir Rijaal, Al-Hafidh Al-Mutqin Jamaludin bin
Abi Al-Hajjaaj Yusuf Al-Mizziy, Muasasah Risalah, Tahqiq Doktor Basyar ‘Awar
Ma’ruf, Cetakan Kedua Tahun 1404 H / 1983 M10. Siyar A’lamin
Nubala, Al-Imam
Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabiy, Muasasah Risalah, Tahqiq
Syu’aib Al-Arnauth, Cetakan Kedua 1402 H / 1982 M11. Kitaabut
Thabaqaat Al-Kabiir,
Muhammad bin Sa’ad, Maktabatul Khanjiy - Kairo, Tahqiq Dr. Aliy Muhammad Umar,
Cetakan Pertama 1421 H / 2001 M12. Rijaal Shahih
Muslim, Abu Bakar
Ahmad bin Aliy bin Manjuwaih Al-Ashhabaniy, Darul Ma’rifah - Beirut, Tahqiq
Abdullah Al-Laitsiy13. Dzikru Asma’i
Man Tukullima Fiihi Wa Huwa Muwatsaqqun, Syamsudin Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman
Adz-Dzahabiy, Maktabah Al-Manar - Urdun, Tahqiq Muhammad Syakur bin Mahmud Al-Hajjiy,
Cetakan Pertama 1406 H / 1986 M14. Tahdzibut
Tahdzib, Abul Fadhl
Ahmad bin Aliy bin Hajar Al-Asqalaniy, Muasasah Risalah, Tahqiq Ibrahim Syibaq
dan Adil Mursyid15. Ma’rifatuts
Tsiqaat Min Rijaali Ahlil ‘Ilmi Wal Hadiits Wa Minadh Dhu’afaa Wa Dzikri
Madzaahibihim Wa Akhbaarihim, Abul Hasan Ahmad bin Abdullah bin Shalih Al-‘Ijliy,
Bitartib Al-Imamain Abu Bakar Sulaiman Al-Haitsami dan Aliy bin Abdul Kaafiy
As-Subky, Tahqiq Abdul ‘Aliy Abdul ‘Adhim Al-Bastawiy16. Kitab Al-Jarh
Wa At-Ta’diil, Abdurrahman
Ibnu Abi Hatim Ar-Raziy, Dar Ihyaut Turaats Al-‘Arabiy - Beirut, Cetakan Pertama Tahun 1373 H / 1953 M17. Tamaamul
Minnah Fii At-Ta’liiq ‘Ala Fiqhis Sunnah, Muhammad Nashirudin Al-Albaniy, Dar Ar-Rayah Cetakan Kedua
1408 H18. Al-Kaasyif
Fii Ma’rifati Man Lahu Riwaayatun Fii Al-Kutub As-Sittah, Syamsudin Abu Abdillah Muhammad bin
Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabiy, Muasasah Ulumil Qur’an - Jeddah, Tahqiq
Muhammad ‘Awamah dan Ahmad Muhammad Nahrul Khatib, Cetakan Pertama Tahun 1413 H
/ 1992 M19. Rijaalu
Shahih Al-Bukhari
yang disebut dengan Al-Hidayah Wal Irsyad Fii Ma’rifati Ahli Ats-Tsiqah Wa
As-Sadaad Alladziina Akhraja Lahum Al-Bukhari Fii Jaami’ihi, Abu Nashr
Ahmad bin Muhammad bin Husain Al-Kalaabaadzi, Darul Ma’rifah - Beirut, Tahqiq
Adullah Al-Laitsiy, Cetakan Pertama Tahun 1407 H / 1987 M20. Fathul Baab
Fii Al-Kunaa Wa Al-Alqaab, disertasi untuk meraih gelar Doktoral, Wizaratut Ta’lim Jaami’ati Ummi
Al-Qura - Makkah, Abu Abu Abdillah Muhammad bin Ishaq bin Mandah, Tahqiq
Abdul Aziz Ar-Rahmaniy, Tahun 1407 H21. Muqadimmah
Ibni Shalah Wa Mahasinul Isthilah, Ibnu Shalah, Darul Ma’rifah, Dr. Aisyah Abdurrahman bintu
Syathibi22. Fathul
Mughiits Bi Syarhi Alfiyatl Hadiits, Abdul Khair Muhammad bin Abdurrahman As-Sakhawiy Asy-Syafi’i,
Maktabah Darul Minhaj, Cetakan Pertama Tahun 1426 H23. Kitaabus
Sunan Al-Kubra Wa Fii Dzailihi Al-Jauhar An-Naqiy, Abu Bakar Ahmad bin Husain
Al-Baihaqiy, Dairatul Ma’arif Al-Utsmaniyah - Al-Hind, Cetakan Pertama Tahun 1346
H24. Silsilah
Al-Ahaadiits Adhaa’ifah Wal Maudhu’ah Wa Atsaaruha As-Sayyi’ Fil Ummah, Muhammad Nashirudin Al-Albaniy,
Maktabah Al-Ma’arif - Riyadh, Cetakan Pertama 1412 H / 1992 M25. An-Nihayah
Fii Gharibil Hadits Wal Atsar, Abu Su’adat Al-Mubarak bin Muhammad Al-Jazriy Ibnu Al-Atsir,
Dar Ihyaut Turats Al-‘Arabiy - Beirut, Tahqiq Thahir Ahmad Az-Zawiy dan Mahmud
Muhammad Ath-Thanajiy.26. Lisaanul
Arab, Ibnu Manzhur,
Darul Ma’arif - Kairo27. Fathul Baari’
Syarh Shahih Al-Bukhari, Abul Faraj Ibnu Rajab Al-Hanbaliy, Jama’atun Minal Ulama, Maktabah
Al-Ghuraba Al-Atsariyah, Cetakan Pertama 1416 H / 1996 M28. Al-Ajzaa
Al-Haditsiyah, Bakr
Abu Zaid, Darul ‘Ashimah, Cetakan Pertama 1416 H / 1996 M29. Al-Jami’
Ash-Shahih Al-Musnad Min Haditsi Rasulillah Wa Sunanihi Wa Ayamihi, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail
Al-Bukhari, Maktabah Ar-Rusyd, Abu Abdullah Abdus Salam bin Umar Al-‘Alawis
Cetakan Kedua 1427 H / 2006 M30. As-Sunan
Al-Kubra, Abu Bakar
Ahmad bin Al-Husain bin Aliy Al-Baihaqiy, Darul Kutub Ilmiyah - Beirut, Tahqiq
Muhammad bin Abdul Qadir ‘Atha, Cetakan Ketiga Tahun 1424 H / 2003 M31. Al-Mu’jam
Al-Kabiir, Abu
Al-Qasim Sulaiman bin Ahmad Ath-Thabraniy, Maktabah Ibnu Taimiyah - Kairo,
Tahqiq Hamdiy Abdul Majid As-Salafiy, Cetakan Kedua32. Irwaul Ghalil
Fii Takhriij Ahadiits Manaaris Sabiil, Nashirudin Al-Albaniy, Cetakan Pertama Tahun 1399 H / 1979 M33. Al-Mushannif,
Ibnu Abi Syaibah,
Syirkatu Darul Qiblah, Tahqiq Muhammad Awwamah, Cetakan Pertama Tahun 1427 H /
2006 M