Kajian Terbaru

Meraih Kemuliaan di Bulan Mulia

Idul Fitri

Selamat Idul Fitri 1434 H

Ikuti terus blog kami

Mendidik dan mencerdaskan umat

Selasa, 26 November 2013

DOWNLOAD ! Kajian Mengenal Kesesatan Syi'ah

Kajian ini diselenggarakan di Masjid Mujahidin UNY.
Pemateri : Ustadz Azzam (Pengajar Ponpes Ar-Ridlo, Bantul)
Waktu : 09.00-11.30

Download REKAMAN kajian ilmiah mahasiswa
Part 1
Part 2
FULL

Bagi kaum muslimin yang ingin mendownload Buku Panduan dari MUI tentang kesesatan syi'ah, bisa melalui link ini :
Download 1
Download 2




Selasa, 02 Juli 2013

Hadits - Hadits Tentang Keutamaan Do'a

Oleh : Al-Faqir Ila Allah Abu Ukasyah Al-Cilacapiy


     Berikut ini saya sebutkan beberapa keutamaan - keutamaan yang bisa kita peroleh tatkala berdo'a, menurut hadits - hadits yang shahih berikut takhrijnya :

a.      Doa adalah ibadah

عن النعمان بن بشير -رضي الله عنهما- عن النبي -صلى الله عليه وسلم- قال الدعاء هو العبادة ثم قرأ وقال {ربكم ادعوني أستجب لكم إن الذين يستكبرون عن عبادتي سيدخلون جهنم داخرين} (سورة المؤمن (40) : 60)

Dari Nu`man bin Basyir t dari Nabi ` bersabda :”Doa adalah ibadah, kemudian beliau membaca ayat  :”Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku (berdoa kepada-Ku) akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina(QS. Al-Mu’min (40) : 60). (HR. Abu Dawud No. 1474 Kitabus Shalat Bab Ad-Du`a. Sunan Tirmidzi No. 2969 Kitab Tafsir Al-Qur’an Bab Min Suratil Baqarah, lihat pula Bab Wan Min Suratil Mu’min No. 3247, Kitab Ad-Da`awat ‘An Rasulillah Bab Ma Ja`a Fi Fadhlid Du’a No. 3372. Sunan Ibnu Majah No. 3828 Kitab Abwabud Du’a Bab Fadhlud Du’a. Dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud hadits No. 1479 Maktabah Al-Ma’arif - Riyadh (I/407))

b.      Doa adalah ibadah yang paling mulia

عن أبي هريرة -رضي الله عنه- قال قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم-: "ليس شيء أكرم على الله من الدعاء"

Dari Abu Hurairah t berkata : “Rasulullah ` bersabda :”Tidak ada sesuatu yang lebih mulia bagi Allah U daripada doa”(HR. Tirmidzi No. 3370 Kitab Ad-Da’awat ‘An Rasulillah Bab Ma Ja’a Fi Fadhil Du’a. Ibnu Majah 3829 Kitab Abwabub Du’a Bab Fadhlud Du’a. Dihasankan oleh Syaikh Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi No. 3370 Maktabah Al-Ma’arif – Riyadh (III/383))

c.       Doa perniaagaan yang menguntungkan

Karena orang yang berdoa pasti mendapatkan salah satu dari tiga keuntungan berikut ini.

وعن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال ما من مسلم يدعو بدعوة ليس فيها إثم ولا قطيعة رحم إلا أعطاه الله بها إحدى ثلاث إما أن يعجل له دعوته وإما أن يدخرها له في الآخرة وإما أن يصرف عنه من السوء مثلها قالوا إذا نكثر قال الله أكثر

Dari Abu Said Al-Khudriy t bahwasanya Nabi ` bersabda : “Tidaklah seorang muslim berdoa dengan suatu doa yang tidak ada padanya dosa atau pemutusan tali silaturahim kecuali Allah pasti memberinya salah satu diantara tiga hal; bisa jadi doanya dikabulkan dengan segera, atau disimpankan pahala doa tersebut dihari kiamat, atau dipalingkan darinya keburukan yang semisal dengan doa itu”. Para sahabat berkata :”Kalau demikian kami akan memperbanyak doa”. Nabi ` bersabda :”Allah lebih banyak lagi mengabulkan”. (HR. Ahmad No. 11133 Mak. Muasasah Risalah (XVII/213-214), Al-Hakim No. 1867 Darul Haramain (I/675), Abu Ya’la No. 1019 Mak. Darul Ma’mun (II/296). Berkata Al-Hakim :”Sanadnya Shahih” Dan disepakati oleh Adz-Dzahabi Lihat Mustadrak (I/493) Mak. Darul Ma’rifah, berkata Syaikh Syu’aib Al-Arnauth :”Sanadnya jayyid” Lihat Musnad Ahmad (XVII/214), berkata Syaikh Albani :”Hasan Shahih” Lihat Shahih Targhib Wa Tarhib Mak. Ma’arif Riyadh (II/278)).

d.      Doa bermanfaat bagi hal yang telah terjadi maupun yang belum terjadi

وعن ابن عمر رضي الله عنهما قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن الدعاء ينفع مما نزل ومما لم ينزل فعليكم عباد الله بالدعاء

Dari Ibnu Umar h berkata :”Rasulullah ` bersabda : ”Sesungguhnya doa itu bermanfaat untuk sesuatu yang telah terjadi dan belum terjadi, maka berdoalah wahai hamba - hamba Allah U(HR. Tirmidzi No. 3548 (V/552) dan Al-Hakim No. 1866 Kitab Dua Wa Takbir Wa Tahlil (I/675) Darul Haramain. Berkata Syaikh Albani dalam Shahih Targhib Wa Tarhib (II/278) :”Hasan Lighairihi”)

e.      Doa bisa menolak takdir

وعن ثوبان رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يرد القدر إلا الدعاء ولا يزيد في العمر إلا البر

Dari Tsauban  t berkata :”Rasulullah ` bersabda :”Tidak ada yang dapat mengelakkan takdir kecuali doa, dan tidak ada yang bisa memperpanjang umur kecuali perbuatan baik”. (HR. Hakim No. 1865 (I/675) Darul Haramain, Ahmad No. 22386 (XXXVII/68) Muasasah Risalah, Syarhus Sunnah Baghawiy No. 3418 (XIII/6) Al-Maktab Al-Islami. Berkata Syaikh Albani dalam Shahih Targhib Wa Tarhib (II/279) Maktabah Ma’arif :”Hasan”)

f.        Banyak berdoa disaat lapang memudahkan terkabulnya doa di saat terjepit

وعن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال من سره أن يستجيب الله له عند الشدائد فليكثر من الدعاء في الرخاء

Dari Abu Hurairah t bahwasanya Rasulullah ` bersabda :”Barangsiapa yang suka jika Allah mengabulkan doanya dalam waktu - waktu sulit maka hendaknya ia memperbanyak doa dalam waktu - waktu lapang(HR. Tirmidzi No. 3382 (V/462) dan Hakim No. 2049 (I/738). Hasan Lighairihi Lihat Shahih Targhib Wa Tarhib (II/276))

g.      Doa menjauhkan diri kita dari kemurkaan Allah

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : إنه من لم يسأل الله يغضب عليه

Dari Abu Hurairah t berkata :”Rasulullah ` bersabda :”Barangsiapa yang tidak mau meminta kepada Allah maka Allah murka padanya”. (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad No. 658 Bab Man Lam Yas`alillah Yaghdhob ‘Alaihi Maktabah Ma’arif (I/344-345), Tirmidzi No. 3373 (V/456), Hakim No. 1857 (I/673). Dihasankan oleh Syaikh Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi (III/384))
Dalam riwayat Ibnu Majah dengan lafadh :

من لم يدع الله سبحانه غضب عليه

Barangsiapa yang tidak mau berdoa kepada Allah Subhanahu, maka Allah murka kepadanya(Lihat Shahih Ibnu Majah (III/252) Syaikh Albani, Maktabah Ma’arif – Riyadh)

Mudah - mudahan Allah senantiasa memberi taufiq kepada kita untuk senantiasa melazimkan do'a kepada-Nya, Amiiin.


Buku Panduan Ramadhan (Ustadz M. Abduh Tuasikal)

Formuny akan menyebarkan buku Panduan Ramadhan karya Ustadz M. Abduh Tuasikal ini secara gratis pada kajian tanggal 8 Juli 2013 di Masjid Mujahidin UNY, GRATIS. Hanya ada 250 buku.

Meraih Kemuliaan di Bulan Mulia

Bismillah...
Dengan hanya mengharap ridha Allah, hadirilah kajian jelang ramadhan bertajuk:
#SAFARI DAKWAH ELFATA

dengan tema:
"MERAIH KEMULIAAN DI BULAN MULIA"

Pemateri
1. Ust. Ahmad Wahyudi BA (alumni Madinah International University)
2. Muhammad Abu Abdilmuhseen

Insya Allah
SENIN 8 JULI 2013
atau 29 sya'ban 1434h
jam 08.00 - selesai
di MASJID MUJAHIDIN - Kampus UNY Yogyakarta

Info: 085726537112
insya Allah disediakan gratis: MAJALAH ELFATA & Buku Panduan RAMADHAN (karya Ust. Muh. Abduh Tuasikal) >> terbatas 250

GRATIIIIIIS DAN UNTUK UMUM
Acara Ini diselenggarakan oleh Forum Muslim UNY (FORMUNY), FKIM Yogyakarta dan MAJALAH ELFATA.

Takhrij Hadits Al-‘Ajn (Mengepalkan Tangan Saat Bangkit Dari Sujud) Berikut Penjelasan dan Tarjihnya

Oleh : Al-Faqir Ilallaah Abu Ukasyah Al-Cilacapy

         
   Alhamdulillah, was shallaatu was salaamu ‘ala rasulillah. Memenuhi permintaan sebagian ikhwah yang ingin mengetahui takhrij hadits Al-‘Ajn (mengepalkan tangan ketika bangkit dari sujud) berikut jalur periwayatannya, maka dengan segala keterbatasan kami, di sini mencoba untuk mengurai permasalahan tersebut sehingga dengan pertolongan Allah bisa mencapai suatu kejelasan.

Matan Hadits
            Ada beberapa hadits yang terkait dalam permasalahan ini, yang akan kita sebutkan insya Allah berikut takhrijnya :

1.      Hadits Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان إذا قام في صلاته وضع يده على الأرض كما يضع العاجن

Bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam apabila berdiri di dalam shalat bertelekan tangannya diatas tanah sebagaimana yang dilakukan oleh Al-Ajin (Arti Al-‘Ajin belum kami jabarkan mengingat ada persilangan pendapat diantara ulama tentang maknanya)

Takhrij Hadits :
Disebutkan oleh Al-Ghazaliy dalam Al-Wasith (2/142-143), Diikuti oleh Ar-Rafi’i dalam Asy-Syarh Al-Kabir (1/528), Ibnu Hajar dalam Talkhisul Habir (1/467), Ibnu Mulaqqin dalam Al-Badru Al-Munir (3/678), dan Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab (3/421).

Derajat Hadits :
“Hadits batil, dhaif, tidak ada asal - usulnya”
Berkata Ibnu Mulaqqin rahimahullah :”Aku belum mendapati seorang pun dari ahli hadits yang meriwayatkan dengan jalur ini setelah ku telaah”. (Lihat Al-Badru Al-Munir (3/678).
Berkata Ibnu Shalah rahimahullah :”Hadits ini tidak dikenal dan tidak sah serta tidak boleh berhujah dengannya”. (Lihat Al-Badru Al-Munir (3/679).
Berkata Imam Nawawi rahimahullah :”Hadits ini dhaif, batil, tidak ada asal - usulnya”. (Lihat Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab (3/421).

2.      Hadits Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma
Riwayat Thabraniy

حدثنا علي بن سعيد الرازي حدثنا عبد الله بن عمر بن أبان حدثنا يونس بن بكير حدثنا الهيثم بن علقمة بن قيس بن ثعلبة عن الأزرق بن قيس قال : رأيت عبد الله بن عمر وهو يعجن في الصلاة, يعتمد على يديه إذا قام, فقلت : ما هذا يا أبا عبد الرحمن؟. قال : رأيت رسول الله صلى الله عليه و سلم يعجن في الصلاة, يعني : يعتمد

Telah menceritakan kepada kami Ali bin Sa’id Arrazi, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Umar bin Aban, telah menceritakan kepada kami Yunus bin Bukair, telah menceritakan kepada kami Al-Haitsam bin Alqamah bin Qais bin Tsa’labah dari Al-Azraq bin Qais dia berkata: “Aku melihat Abdullah bin Umar melakukan ‘Ajn di dalam shalat, bertelekan kedua tangannya ketika bangkit, maka aku pun berkata kepadanya :”Apa ini wahai Abu Abdirahman?”. Beliau menjawab :”Aku melihat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam melakukan ‘Ajn di dalam shalat”. Yaitu : Bertelekan -tangannya-.
Berkata Ath-Thabraniy :”Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari Al-Azraq kecuali Al-Haitsam, Yunus bin Bukair menyendiri dalam periwayatannya”.

Riwayat Al-Harabiy

حدثنا عبيد الله بن عمر حدثنا يونس بن بكير عن الهيثم عن عطية بن قيس عن الأزرق بن قيس : رأيت ابن عمر يعجن فى الصلاة يعتمد على يديه إذا قام فقلت له فقال : رأيت رسول الله صلى الله عليه يفعله

Telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin Umar, telah menceritakan kepada kami Yunus bin Bukair dari Al-Haitsam dari Athiyah bin Qais dari Al-Azraq bin Qais berkata :”Aku melihat Ibnu Umar melakukan ‘Ajn di dalam shalat, bertelekan dengan kedua tangannya ketika bangkit, maka aku bertanya kepadanya -kenapa beliau melakukannya-?. Beliau menjawab :”Aku melihat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam melakukannya”.

Takhrij Hadits :
Dikeluarkan oleh Ath-Thabraniy dalam Mu’jamul Ausath No. 4007 (4/213), Al-Haraby dalam Gharibul Hadits (2/525).

Pembahasan Sanad :
Jika kita mau mencermati kedua riwayat diatas, maka akan kita dapati perbedaan antara riwayat Thabraniy dan Al-Harabiy, yaitu pada Syaikh Yunus bin Bukair.
Pada riwayat Thabraniy disebutkan nama Syaikh Yunus bin Bukair adalah Al-Haitsam bin Alqamah bin Qais bin Tsa’labah yang mana ia meriwayatkan secara langsung dari Al-Azraq dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma
Adapun pada riwayat Al-Harabiy nama Syaikh Yunus bin Bukair adalah Al-Haitsam yang mana ia meriwayatkan dari Athiyah bin Qais dari Al-Azraq bin Qais dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma.
Berkata Syaikh Al-Albani rahimahullah mengenai hal ini :”Berkata Thabraniy :”Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari Al-Azraq kecuali Al-Haitsam, Yunus bin Bukair menyendiri dalam periwayatannya”. Aku katakan :”Dia -yaitu Yunus bin Bukair- adalah seorang yang Shaduq, haditsnya hasan dan termasuk perawi Muslim, meski terdapat perbincangan tentang dirinya namun tidak sampai menurunkan haditsnya dari derajat hasan insya Allah. Akan tetapi Syaikhnya yaitu Al-Haitsam bin Alqamah bin Qais bin Tsa’labah aku tidak mengetahui tentang -biografinya- , dan aku belum mendapati ada seorang pun yang menyebutkan biografinya, aku khawatir dalam riwayat ini -yaitu riwayat milik Thabaraniy- terdapat suatu kesalahan dalam penulisan.
Abu Ishaq Al-Harabiy di dalam kitabnya “Gharibul Hadits telah menyebutkan pula dengan sanad beliau seperti ini :”Telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin Umar (Dalam Silsilah Ash-Shahihah (6/381), Maktabah Al-Ma’arif Riyadh, Tahun 1315 H / 1995 M, tertulis “Abdullah bin Umar” dan yang benar adalah “Ubaidillah bin Umar” jika merujuk kepada kitab aslinya Gharibul Hadits (2/525)), telah menceritakan kepada kami Yunus bin Bukair dari Al-Haitsam dari Athiyah bin Qais dari Al-Azraq bin Qais.
            Sedang Al-Harabiy seorang yang tsiqah, seorang Imam dan Al-Hafidh, riwayatnya lebih didahulukan daripada riwayat Aly bin Sa’id Ar-Raziy (Syaikh Thabraniy), walaupun ia telah dinilai tsiqah oleh Maslamah bin Qasim akan tetapi Ad-Daruquthniy mengomentarinya sebagai berikut :”Ia tidak demikian”. Maka perkataannya (Aly bin Sa’id Ar-Raziy) di dalam sanad :”Al-Haitsam bin Alqamah bin Qais bin Tsa’labah”. Merupakan kekeliruan dirinya jika itu memang berasal darinya, dan yang benar adalah perkataan Al-Harabiy :” Al-Haitsam dari Athiyah bin Qais”. (Lihat Silsilah Ash-Shahihah (6/380-381)
            Jadi sanad yang benar adalah apa yang di bawakan oleh Abu Ishaq Al-Harabiy dalam kitab beliau Gharibul Hadits (2/525) yaitu :” Yunus bin Bukair dari Al-Haitsam dari Athiyah bin Qais dari Al-Azraq bin Qais”. Wallahu a’lam.

Biografi Perawi :
Ubaidillah bin Umar :
            Beliau adalah Abu Sa’id Ubaidillah bin Umar bin Maisarah Al-Jusyami, wafat pada tahun 235 H di Baghdad. Beliau termasuk perawi Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Abu Ishaq Al-Harabiy, Abu Ya’la Al-Maushiliy, Ibnu Abi Khaitsamah, Ibnu Abid Dunya dll. Hadits beliau juga ditulis oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Ma’in.
Berkata Yahya bin Ma’in :”Tsiqah”.
Dinilai tsiqah pula oleh Ahmad bin Abdullah Al-‘Ijly, An-Nasa’i, dan Shalih bin Muhammad Al-Asadiy beliau menambahkan :”Shaduq”.
Berkata Abu Hatim Ar-Raziy :”Shaduq”.
Berkata Muhammad bin Sa’ad :”Beliau seorang yang tsiqah, dan banyak meriwayatkan hadits”.
Berkata Ibnu Hajar Al-Asqalaniy :”Tsiqatun Tsabat”.
Berkata Adz-Dzahabi :”Al-Imam, Al-Hafidh, Muhaditsul Islam”.
(Lihat Tahdzibul Kamal (19/130-136), Ats-Tsiqaat Ibnu Hibban (8/405-406), Taqribut Tahdzib (Hal. 314), Siyar A’lamin Nubala (11/442), Kitaabut Thabaqaat Al-Kabiir (9/353)).
Kesimpulan : Beliau adalah seorang yang tsiqah, haditsnya diterima dan dijadikan hujjah.

Yunus bin Bukair :
            Beliau adalah Abu Bakar Yunus bin Bukair bin Washil Asy-Syaibani Al-Jammaal (Adz-Dzahabiy berkata Al-Hammal) Al-Kuufiy, wafat pada tahun 199 H. Hadits beliau  diriwayatkan oleh Ahmad bin Abdiljabar Al-‘Utharidiy, Ahmad bin Muhammad bin Yahya bin Sa’id Al-Qhathan, Ishaq bin Musa Al-Anshariy, Abu Khaitsamah Zuhair bin Harb, Sufyan bin Waki’ bin Al-Jarrah, Ibnu Abi Syaibah dll. Hadits beliau juga dijadikan syahid oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya serta membawakan riwayatnya pula dalam kitab Imam Bukhari yang berjudul “Al-Qira’ah Khalfal Imam”. Beliau juga termasuk rijaal Muslim dan para pemilik kitab Sunan kecuali An-Nasa’i juga membawakan riwayat beliau dalam kitab mereka.
Yahya bin Ma’in berkata dalam riwayat Utsman bin Sa’id Ad-Darimiy tentang beliau :”Tsiqah”. Dalam riwayat yang lain beliau berkata :”Beliau seorang yang shaduuq”.
Berkata Utsman bin Sa’id Ad-Darimiy :”Dia (Yahya bin Ma’in) menyelisihi Ahli Hadits dalam perkara Yunus”. Ditempat lain Utsman bin Sa’id Ad-Darimiy berkata :”Tidak mengapa dengannya (Yunus bin Bukair)”.
Dalam riwayat yang lain Yahya bin Ma’in berkata :”Tsiqah hanya saja ia seorang pengikut Murji’ah dan pengekor Sulthan (Penguasa)”.
Berkata Abu Khaitsamah :”Aku menulis hadits darinya”.
Berkata Abdurrahman bin Abi Hatim :”Abu Zur’ah pernah ditanya tentang hal apa yang membuat Yunus bin Bukair diingkari?”. Beliau menjawab :”Adapun dalam periwayatan hadits maka aku tidak mengetahui -ada sesuatu yang diingkari darinya-”.
Abu Hatim berkata :”Dia merupakan tumpuan kejujuran”.
Berkata Abu Ishaq Al-Juzjaaniy :”Berkaitan dengan perkaranya sebaiknya diteliti terlebih dahulu”.
Berkata Aly bin Al-Madiniy (Syaikh Imam Bukhari) :”Aku menulis hadits darinya akan tetapi tidak meriwayatkan darinya”.
Berkata Muhammad bin Abdullah bin Numair dan Ubaid bin Ya’isy :”Tsiqah”.
Abu Dawud berkata :”Dia bukanlah hujjah disisiku, dia mengambil perkataan Ibnu Ishaq untuk kemudian ia sambungkan dengan hadits”.
Berkata An-Nasa’i :”Dia tidak kuat”. Dalam tempat lain beliau berkata :”Dia dhaif”.
Berkata Ibnu Ammar :”Dia sekarang tsiqah disisi Ahli hadits”.
Berkata Adz-Dzahabiy :”Hasanul hadits”.
Berkata Ibnu Hajar :”Shaduq, kadang melakukan kesalahan”.
Ibnu Hibban menyebutkannya dalam kitab Ats-Tsiqaat (yaitu : kitab yang memuat daftar perawi - perawi yang tsiqah menurut Ibnu Hibban) begitu juga Al-‘Ijiliy di dalam kitabnya Ma’rifatus Tsiqaat.
(Lihat Tahdzibul Kamal (32/493-497), Rijaal Shahih Muslim (2/369), Siyar A’lamin Nubala (9/245-248), Dzikru Asma’i Man Tukullima Fiihi Wa Huwa Muwatsaqqun (Hal. 203), Tahdzibut Tahdzib (4/467), Taqribut Tahdzib (Hal. 542), Ma’rifatuts Tsiqaat (2/377), Kitaabu Thabaqaat Al-Kabiir (8/522)).
Kesimpulan : Yunus bin Bukair adalah seorang perawi yang shaduq, haditsnya sekurang - kurangnya adalah hasan, adapun jarh yang disematkan kepada beliau mayoritas bukan Jarh Mufassar (Jarh yang dirincikan sebabnya), mengenai pemahaman beliau yang Irja’i maka dalam konteks ini riwayat beliau tidak dipermasalahkan karena bukan termasuk riwayat yang mendukung pemahaman Irja’inya, adapun alasan Abu Dawud yang tidak mau menerima haditsnya disebabkan beliau menyambungkan perkataan Ibnu Ishaq dengan hadits, maka kita katakan bahwa dalam riwayat ini Yunus bin Bukair tidak mengambil perkataan Ibnu Ishaq namun ia meriwayatkan dari Al-Haitsam, sehingga riwayat beliau disini insya Allah tidak sampai turun dari derajat hasan, wallaahu a’lam.

Al-Haitsam :
            Beliau adalah Al-Haitsam bin Imran Al-‘Absy Ad-Dimasqiy. Hadits beliau diriwayatkan oleh Yunus bin Bukair, Al-Haitsam bin Kharijah, Muhammad bin Wahb bin ‘Athiyah, Hisyam bin Ammar dan Sulaiman bin Syarhabil. Para ulama bersilang pendapat tentang status beliau, apakah beliau termasuk perawi yang dhaif karena mubhamnya (tidak dikenalnya) beliau, atau perawi yang diterima haditsnya berpegang kepada tautsiiq (pentsiqahan) dari Ibnu Hibban dalam kitabnya “Ats-Tsiqaat”?.
            Perlu diketahui biografi Al-Haitsam hanya disebutkan di dalam kitab Al-Jarh Wa Ta’dil Ibnu Abi Hatim (Jilid 9/Juz 4/Bag. 2/Hal. 82-83) dan Ats-Tsiqaat Ibnu Hibban (7/577) itu pun hanya segelintir dari biografi beliau. Ibnu Abi Hatim tidak memberikan komentar apapun tentang beliau, tidak jarh tidak pula ta’dil, adapun Ibnu Hibban memasukannya dalam kitab “Ats-Tsiqaat” dan itu cukup untuk mengindikasikan bahwa beliau termasuk perawi yang diterima haditsnya menurut Ibnu Hibban.
            Dalam menerima tautsiiq (pentsiqahan) dari Ibnu Hibban para ulama berbeda pendapat, ada yang keras ada pula yang lunak. Namun dalam permasalah ini yang lebih mendekati kebenaran -insya Allah- adalah merincikan perkara tersebut, tidak menerima tautsiiq Ibnu Hibban secara mutlak, tidak pula mengabaikannya secara kulliyah (menyeluruh), akan tetapi kita menerima tautsiiq Ibnu Hibban manakala terdapat qarinah (petunjuk) yang menunjukan diterimanya tautsiiq tersebut.
            Dan inilah yang ditempuh oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalaniy dalam hal ini, beliau memandang Ibnu Hibban sebagai Ahli Hadits yang mutassahil (yang bergampangan dalam mentsiqahkan perawi) namun disisi lain beliau tetap mengambil tautsiiq Ibnu Hibban manakala terdapat penguat yang menguatkan tautsiiq tersebut. Dan salah satu metode yang ditempuh oleh beliau dan semisalnya dalam menguatkan tautsiiq Ibnu Hibban yaitu manakala ada perawi yang hanya mendapat tautsiiq dari Ibnu Hibban seorang, namun bersamaan dengan itu ada beberapa perawi tsiqah yang meriwayatkan hadits darinya.
            Berkata Al-Allamah Al-Albaniy rahimahullah dalam kitab beliau Tamamul Minnah (Hal. 204) ketika mengomentari kitab “Juz’u Kaifiyatin Nuhudh Fii Shalah” milik Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah dimana di dalamnya beliau mendhaifkan “Al-Haitsam” karena kemajhulannya (tidak dikenalnya) dia :
            “Dan cacat berikutnya menurut beliau (yaitu yang pertama Syaikh Bakr Abu Zaid juga mendhaifkan Yunus bin Bukair) adalah Al-Haitsam bin Imran Al-‘Absiy. Sungguh saudara kami ini telah mengonsep seputar dirinya sebanyak sepuluh halaman tanpa faidah yang berarti, hingga seringkali -sebagaimana kebiasaan beliau- dalam kitab tersebut menyebutkan hal - hal yang tidak berkaitan dengan cacat yang dia sangka, dan kesimpulan dari perkataannya ialah bahwasanya Al-Haitsam telah meriwayatkan darinya sebanyak lima orang perawi, dan disisinya dia termasuk perawi yang majhulul hal (keadaannya tidak diketahui), dan sebagian besar yang beliau sebutkan dari apa yang beliau ambil berasal dari kitab - kitabku.
            Kemudian beliau menyebutkan perkataan Al-Hafidh (Ibnu Hajar Al-Asqalaniy) dalam kitabnya “Lisanul Mizan” saat mengkritik metode Ibnu Hibban dalam pentsiqahan perawi walaupun tidak meriwayatkan dari perawi tersebut kecuali satu orang saja. Kemudian beliau menukil perkataanku seperti itu di beberapa tempat dari kitab - kitabku. Ini benar, akan tetapi beliau -karena masih barunya dalam ilmu hadits- tidak mampu membedakan antara metode pengkritikan tersebut dengan metode yang saya pakai untuk menguatkan hadits Al-Haitsam yaitu dengan riwayat lima perawi tsiqah yang meriwayatkan hadits dari Al-Haitsam.
            Kemudian beliau menyebutkan contoh kepada pembaca untuk menjelaskan pertentangan diriku -menurut persangkaannya- dalam hal ini, yaitu hadits Mu’adz dalam perkara “qadha” yang saya hukumi dengan kemungkarannya dengan beberapa sebab, diantaranya Al-Harits bin ‘Amr yang ditsiqahkan oleh Ibnu Hibban. Beliau menyangka bahwa setiap perawi yang ditisqahkan oleh Ibnu Hibban adalah perawi yang majhul, apakah itu majhul ‘ain (perawi tersebut) atau majhul hal (keadaan perawi tersebut). Dari sini, menjadi tersembunyilah kekeliruan dan kesalahan beliau yang membawanya kepada perkataan beliau (pada halaman 56) bahwa saya telah mengikuti kesalahan Ibnu Hibban dalam metode yang dimaksud.
            Sekarang akan saya bawakan bukti - bukti dari perkataan ulama yang menunjukan benarnya metode yang saya ambil dan salahnya beliau dalam melemparkan tuduhan tersebut;
1-                  Berkata Adz-Dzahabiy dalam biografi Malik bin Al-Khair Az-Zubadiy :”Tumpuan kejujuran...meriwayatkan darinya Hayawah bin Syuraih, Ibnu Wahb, Zaid bin Al-Habbab dan Rusydin. Berkata Ibnu Al-Qhathan :”Dia termasuk orang yang diragukan keadilannya...”. Yaitu dia menghendaki -dengan ucapannya itu- bahwa Malik bin Al-Khair tidak ada seorangpun yang mentsiqahkan dirinya...sedang jumhur  -berpendapat-  bahwa jika ada perawi yang telah meriwayatkan darinya sekelompok orang dan tidak ada seorang pun yang mengingkari dirinya maka sesungguhnya haditsnya shahih”. Dan Ibnu Hajar juga menerima kaidah ini di dalam kitabnya Lisanul Mizan, namun keduanya abstain dalam menyebutkan biografi perawi tersebut dalam Ats-Tsiqqat Ibnu Hibban (7/460) dan dalam Atba’ut Tabi’in, seperti Al-Haitsam bin Imran ini. Maka berdasarkan kaidah ini -yang kami ambil darinya dalam penshahihan hadits- Adz-Dzahabiy dan Al-Asqalaniy dan selain mereka dari Hufadul Hadits mengambilnya untuk mentsiqahkan sebagian perawi yang belum mendapatkan tautsiiq sama sekali sebelumnya. Sebagai permisalan, lihatlah biografi  Ahmad bin Abadah Al-Amiliy dalam “Al-Kaasyif” milik Adz-Dzahabiy dan “At-Tahdzib” milik  Ibnu Hajar Al-Asqalaniy.
Adapun para perawi yang ditsiqahkan oleh Ibnu Hibban yang mereka setujui pula, bahkan tidak jarang mereka berkata tentang perawi - perawi tersebut :”Shaduuq”. Kadang - kadang juga berkata :”Mahallu As-Shidq (Tumpuan kejujuran)”. Ini semua termasuk lafadh ta’dil (lafadh untuk metsiqahkan seorang perawi) sebagaimana yang diketahui, dan jumlah para perawi yang semisal ini ratusan, maka sekarang saya sebutkan sepuluh diantaranya dari “Tahdzibut Tahdzib” sesuai abjad Alif sebagai permisalan, supaya para pembaca berada dalam kejelasan dalam perkara ini :
a.      Ahmad bin Tsabit Al-Jahdari
b.      Ahmad bin Muhammad bin Yahya Al-Bashriy
c.       Ahmad bin Musharrif Al-Yaamiy
d.      Ibrahim bin Abdullah bin Al-Harits Al-Jumahiy
e.      Ibrahim bin Muhammad bin Abdullah Al-Asadiy
f.        Ibrahim bin Muhammad bin Mu’awiyah bin Abdullah
g.      Ishaq bin Ibrahim bin Dawud As-Siwaq
h.      Isma’il bin Ibrahim bin Al-Balisi
i.        Isma’il bin Mas’ud bin Al-Hakam bin Az-Zarqiy
j.        Al-Aswad bin Sa’id Al-Hamdaniy
Semua perawi diatas ditsiqahkan oleh Ibnu Hibban seorang, dan Al-Hafidh Ibnu Hajar mengomentari :”Apa yang saya sebutkan tadi termasuk ibarat saya di dalam tautsiiq (pentsiqahan perawi)”, hal ini juga disetujui oleh para Huffadzul Hadits yang selainnya, yaitu tentang pentsiqahan sebagian perawi - perawi tersebut, dan yang selain mereka serta para perawi yang semisal keadaan mereka. “. (Lihat Tamamul Minnah Hal. 204 - 205)
Kesimpulan dari perkataan Syaikh Al-Albaniy rahimahullah adalah bahwasanya perawi bernama Al-Haitsam haditsnya diterima karena perawi yang seperti ini dan yang semisal dengan keadaannya termasuk perawi yang tsiqah, walaupun yang mentsiqahkan dirinya hanyalah Ibnu Hibban, namun karena ada beberapa orang perawi yang tsiqah yang meriwayatkan hadits dari Al-Haitsam menjadikan haditsnya menjadi kuat. Berikut ini daftar perawi yang meriwayatkan hadits dari Al-Haitsam berikut keadaannya :

·         Yunus bin Bukair : Telah berlalu biografi beliau dan kesimpulannya beliau adalah perawi yang shaduuq haditsnya hasan.

·         Al-Haitsam bin Kharijah : Beliau adalah Abu Ahmad Al-Haitsam bin Kharijah Al-Khurasaniy wafat tahun 227 H, beliau oleh Ahli Hadits dijuluki sebagai Syu’bah bin Al-Hajjaj kecil (Yaitu seorang Imam Ahli Hadits). Berkata Yahya bin Ma’in :”Tsiqah”. Berkata Abu Hatim :”Shaduuq”. Berkata An-Nasa’i :”Tidak mengapa dengannya”. Berkata Ibnu Qani’ :”Tsiqah”. Berkata Al-Khaliliy :”Tsiqah Mutafaqun ‘Alaihi”. Imam Ahmad juga menilai dirinya tsiqah serta menulis hadits darinya. Beliau termasuk perawi Bukhari, An-Nasa’i, Ibnu Majah, Al-Harabiy, Ibnu Abi Syaibah, Abu Ya’la Al-Maushiliy, Al-Bazzar dll. Biografi beliau juga dimasukan oleh Ibnu Hibban ke dalam kitab “Ats-Tsiqaat”. Maka kesimpulan yang benar tentang beliau -Allahu A’lam- adalah, beliau perawi yang tsiqah. (Lihat Tahdzibul Kamal (30/374-378), Ats-Tsiqaat (9/236), Kitaabut Thabaqaat Al-Kabiir (9/345), Tahdziibut Tahdziib (4/296)).

·         Muhammad bin Wahb bin ‘Athiyah : Beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Wahb bin ‘Athiyah Ad-Dimasyqiy, dikatakan Muhammad bin Wahb bin Sa’id bin ‘Athiyyah. Beliau termasuk rijaal (perawi) Imam Bukhari dan Ibnu Majah.  Berkata Abu Hatim tentangnya :”Shaalihul Hadits”. Berkata Ad-Daruquthniy :”Tsiqah”. Kesimpulannya beliau adalah seorang perawi yang tsiqah -insya Allah-. (Lihat Tahdzibul Kamal (26/599-602), Tahdziibut Tahdziib (3/725), Al-Kasyif (2/229), Rijaal Shahih Al-Bukhari (2/684)).

·         Hisyam bin Ammar : Abul Waliid Hisyam bin Ammar bin Nushair bin Maisarah bin Abaan As-Sulamiy Ad-Dimasyqiy wafat pada tahun 244 H, beliau seorang khatib di Masjid Jami’ yang ada di Damaskus. Termasuk Rijaal Bukhari, Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibnu Majah, Baqiy bin Makhlad Al-Andalusiy, dll. Berkata Yahya bin Ma’in :”Tsiqah”. Berkata Al-Ijiliy :”Tsiqah”. Ditempat lain beliau berkata :”Shaduuq”. An-Nasa’i berkata :”Tidak mengapa dengannya”. Ad-Daruquthniy berkata :”Shaduuq, besar kedudukannya”. Abu Hatim ditanya tentangnya dan menjawab :”Shaduuq”. Berkata ‘Abdan :”Tidak ada di dunia ini yang semisal dengannya”. Ibnu Hibban memasukan beliau kedalam “Ats-Tsiqaat” begitu pula Al-Ijiliy dalam “Ma’rifatus Tsiqaat”. Kesimpulannya beliau sekurang - kurangnya adalah perawi yang shaduuq, adapun cacat beliau seperti mengambil upah dari hadits, dan talqin beliau di masa - masa tuanya insya Allah tidak sampai memudharatkan hadits beliau sebagaimana perkataan para ulama, berkata Maslamah :”Dia diperbincangkan, namun dia seorang yang shaduuq dan haditsnya diterima”. (Lihat Tahdziibul Kamaal (3/242-255), Tahdziibut Tahdziib (4/276-277), Ma’rifatus Tsiqaat (2/333)).

·         Sulaiman bin Syarhabil : Beliau adalah Abu Al-Qasim Sulaiman bin Syarhabil Al-Jublaaniy. Meriwayatkan darinya Hariz bin Utsman. Berkata Ibnu Abi Hatim :”Aku mendengar ayahku berkata :”Sulaiman bin Syarhabil shaduuq, mustaqimul hadiits, akan tetapi ia meriwayatkan hadits dari perawi - perawi yang dhaif dan majhul”. (lihat Tahdziibul Kamaal (12/29), Fathul Baab Fii Al-Kunaa Wa Al-Alqaab (No. 33 Hal. 86)). Sedikit sekali ahli sejarah yang menukil biografi beliau, berpegang kepada tautsiiq Imam Jarh Wa Ta’dil Abu Hatim Ar-Raziiy, maka beliau termasuk perawi yang shaduuq -insya Allah-.

      Maka dengan periwayatan dari kelima perawi yang tsiqah diatas hadits Al-Haitsam -yang mana beliau hanya mendapat tautsiiq dari Ibnu Hibban- menjadi kuat dan bisa dijadikan hujjah -Allaahu A’lam-. Dan semakin menguatkan perkataan kami adalah apa yang dikatakan oleh Abdurahman bin Abi Hatim Ar-Raziy, beliau berkata :”Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang riwayat para perawi tsiqah yang meriwayatkan dari perawi yang tidak tsiqah, apakah hal tersebut bisa menguatkan riwayat perawi yang tidak tsiqah tersebut?”. Beliau menjawab :”Apabila ia terkenal dengan kedhaifaannya maka hal tersebut tidak mampu menguatkan riwayatnya,  namun apabila ia majhul (tidak diketahui keadaannya) maka riwayat perawi yang tsiqah darinya mampu menguatkan riwayatnya”. (Lihat Al-Jarh Wa Ta’dil (Juz 1/Bag. 1/Hal. 36).

      Dan sebagai tambahan faidah supaya kita lebih mantap dalam mengambil hadits Al-Haitsam yang dinilai sebagian orang merupakan perawi yang majhul, adalah perkataan Al-Hafidh As-Sakhawiy dalam kitab beliau Fathul Mughits :
“Benar, banyaknya periwayatan para perawi yang tsiqah dari seorang perawi akan menguatkan persangkaan baik bagi dirinya, adapun para perawi yang majhul yang tidak meriwayatkan darinya kecuali para perawi yang dhaif maka riwayat mereka ditinggalkan disetiap kondisi, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hibban”.
Kemudian beliau menyebutkan pendapat Ibnu Mawwaq bahwa periwayatan perawi tsiqah dari seorang perawi majhul yang menjadikan riwayatnya kuat merupakan pendapat kebanyakan ahli hadits, semisal Al-Bazzar dan Ad-Daruquthiy, dan kaidah dari Ad-Daruquthniy adalah barangsiapa yang telah meriwayatkan darinya dua orang perawi yang tsiqah maka telah terlepas darinya sifat majhul (tidak dikenalnya) dan telah tetap baginya sifat ‘adaalah (kredibelitasnya). (Lihat Fathul Mughits (2/213)).
Walaupun ada sebagian ahli hadits yang menganggap bahwa periwayatan seorang yang tsiqah terhadap seorang perawi yang majhul bukan merupakan ta’dil (pentsiqahan) baginya, namun cukuplah bagi kita berpegang kepada pendapat Huffadhul hadits dan Imam Jarh Wa Ta’dil semisal ; Abu Hatim Ar-Raziy, Ibnu Abi Hatim, Al-Bazzar, Ad-Dzruquthniy, Ibnu Hajar, Adz-Dzahabiy dan lain - lain, bahwa periwayatan para perawi yang tsiqah dari perawi yang majhul, menjadikan riwayat tersebut kuat.
Apalagi dalam keadaan ini Al-Haitsam tidak sepenuhnya majhul, namun ia diberi tautsiiq oleh Ibnu Hibban meskipun beliau tidak menyebutkan lafadh - lafadh ta’dil, namun disisi Ibnu Hibban, Al-Haitsam adalah seorang perawi yang tsiqah, kemudian ditunjang dengan periwayatan lima orang perawi yang tsiqah darinya sebagaimana telah berlalu, dan pendapat para Imam Jarh Wa Ta’dil mengenai perawi yang keadaannya semisal ini, serta hukum asal dari penerimaan riwayat adalah husnu zhan (berbaik sangka) terhadap perawi (selama mereka muslim) sebagaimana di katakan oleh As-Sakhawiy :”Karena diterimanya riwayat - riwayat itu dibangun berdasarkan persangkaan baik terhadap perawi”. (Lihat Fathul Mughits (2/214)).
       Maka cukuplah bagi kita untuk mengakui bahwasanya hadits dari Al-Haitsam adalah kuat dan boleh dijadikan hujjah, Allahu a’lam.
Kesimpulan akhir : Al-Haitsam adalah perawi yang haditsnya diterima dan boleh dijadikan hujjah, adanya lima orang perawi tsiqah yang meriwayatkan hadits darinya menjadi bukti bahwa haditsnya kuat dan diterima. Adapun hujjah sebagian orang yang mengatakan hadits Al-Haitsam boleh diterima selagi ia tidak meriwayatkan hadits yang gharib, dan kaitannya disini beliau telah meriwayatkan hadits yang gharib tentang Al-‘Ajn (mengepalkan tangan), yang mana tambahan lafadh ini tidak disebutkan di dalam hadits yang lebih kuat darinya, maka kita katakan, kedudukan hadits Al-Haitsam sebagaimana yang telah berlalu adalah kuat, dan boleh dijadikan hujjah, maka selagi hadits itu kuat dan boleh dijadikan hujjah, tambahan lafadh yang ada di dalamnya termasuk sebagai tambahan ilmu, karena tambahan lafadh tersebut tidak bertentangan dengan lafadh bertelekan tangan di atas bumi, melainkan sebagai tambahan haiah (bentuk) mengepalkan tangan ketika bertumpu di atas bumi dengan kedua tangan.
Mengenai hal ini (yaitu tambahan lafadh dari riwayat tsiqah) Ibnu Shalah telah menjelaskannya di dalam kitabnya Muqadimmah Ibnu Shalah :
“Saya berpendapat apa yang di riwayatkan oleh perawi tsiqah yang ia menyendiri dalam periwayatannya terbagi menjadi tiga macam :
1.      Jika riwayatnya menyelisihi dan bertentangan dengan riwayat semua perawi tsiqah, maka hukumnya tertolak (tidak diterima) sebagaimana yang telah berlalu dalam pembahasan Syadz.
2.      Jika riwayatnya tidak menyelisihi dan tidak bertentangan sama sekali dengan riwayat selainnya, seperti hadits yang menyendiri di dalam periwayatannya beberapa perawi tsiqah yang tidak bertentangan dengan apa yang diriwayatkan oleh selainnya, maka hukumnya maqbuul (diterima), Al-Khatib Al-Baghdadiy menilai hal ini sebagai kesepakatan para ulama. Adapun contoh tentang hal ini maka telah berlalu pembahasannya dalam bagian Syadz.
3.      Yang ketiga yaitu apa yang kedudukannya diantara dua kedudukan diatas...”. (Lihat Muqadimmah Ibnu Shalah Hal. 251)
Kemudian Ibnu Shalah membawakan  contoh yang amat panjang, yang kesimpulannya dalam pembahasan kita yaitu, bahwa dalam riwayat ini, Al-Haitsam termasuk menyendiri dalam periwayatan lafadh Al-‘Ajn, namun jika kita merujuk kepada perkataan Ibnu Shalah diatas maka tambahan riwayat dari hadits Al-Haitsam merupakan tambahan yang tidak bertentangan dengan hadits yang lain, karena Al-‘Ajn (mengepalkan tangan) merupakan haiah (bentuk) dari bertumpunya tangan di atas bumi ketika bangkit dari sujud, dan ini kita katakan hal itu merupakan sebuah tambahan ilmu yang boleh kita amalkan, Allahu a’lam.

Athiyah bin Qais
      Beliau adalah Abu Yahya Al-Himsiy ‘Athiyah bin Qais Al-Kilaabiy dikatakan Al-Kalaa’iy, Ad-Dimasyqiy, Tabi’in wafat tahun 121 H. Beliau termasuk rijaal Bukhari dan Muslim. Beliau merupakan salah satu perawi hadits yang masyhur “Buniyal Islaamu ‘ala khamsin”. Mengambil hadits dari sahabat - sahabat besar, seperti Ibnu Umar, Abu Darda, Ibnu Amr, Nu’man bin Basyir, Mu’awiyah radhiallahu anhum. Beliau juga seorang mujahid, berperang bersama Abu Ayub Al-Anshariy di masa pemerintahan Mu’awiyah. Berkata Abu Hatim tentangnya :”Shaalihul hadiits”. Berkata Abdul Wahid bin Qais :”Orang - orang membetulkan mushaf - mushaf mereka berdasarkan bacaan ‘Athiyah bin Qais”. Berkata Sa’id bin Al-Aziz :”Kami sungkan untuk membuka obrolan seputar dunia di hadapan ‘Athiyah bin Qais”.  (Lihat Tahdzibul Kamaal (20/153 - 157), Kitaabut Thabaqaat Al-Kabiir (9/464), Al-Jarh Wa At-Ta’dil (6/383-384), Tahdziibut Tahdziib (3/115-116),  Rijaalu Shahih Bukhari (2/878-879), Siyar A’lamin Nubala (5/324-325)).
Kesimpulan : Kedudukan beliau disisi ahli hadits tidak diragukan lagi, bahwa beliau adalah perawi yang tsiqah.

Al-Azraq bin Qais
        Beliau adalah Al-Azraq bin Qais Al-Haritsiy, seorang tabi’in meriwayatkan hadits dari Ibnu Umar, Anas bin Malik, Abu Barzah Al-Aslamiy radhiallahu ‘anhum. Beliau termasuk rijaal Bukhari, Abu Dawud dan An-Nasa’i. Berkata An-Nasa’i :”Tsiqah”. Berkata Ibnu Sa’ad :”Tsiqah insya Allah”. Berkata Ibnu Ma’in :”Tsiqah”. Berkata Abu Hatim :”Shaalihul hadits”. Berkata Ad-Daruquthniy :”Tsiqah dan terpercaya”. Ibnu Hibban menyebutkannya dalam kitab Ats-Tsiqaat. (Lihat Tahdziibut Tahdziib (1/103-104), Tahdziibul Kamaal (2/318-319)).
Kesimpulan : Al-Azraq bin Qais adalah perawi yang tsiqah.

Derajat Hadits :
          Dengan berkumpulnya para perawi yang tsiqah dalam sanad hadits “Al-Ajn” riwayat Al-Harabiy, yaitu :
“Telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin Umar, telah menceritakan kepada kami Yunus bin Bukair dari Al-Haitsam dari Athiyah bin Qais dari Al-Azraq bin Qais berkata :”Aku melihat Ibnu Umar melakukan ‘Ajn di dalam shalat, bertelekan dengan kedua tangannya ketika bangkit, maka aku bertanya kepadanya -kenapa beliau melakukannya-?. Beliau menjawab :”Aku melihat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam melakukannya”.
         Menjadikan hadits tersebut kuat dan boleh diamalkan serta dijadikan hujjah, adapun derajat hadits tersebut maka tidak turun dari derajat hasan, Allahu a’lam.

3.      Hadits Dari Ibnu Umar

أخبرنا أبو نصر بن قتادة أنبأ أبو محمد أحمد بن إسحاق بن شيبان بن البغدادي بهراة أنبأ معاذ بن نجده ثنا كامل بن طلحة ثنا حماد هو بن سلمة عن الأزرق بن قيس قال : رأيت بن عمر إذا قام من الركعتين اعتمد على الأرض بيديه فقلت لولده ولجلسائه لعله يفعل هذا من الكبر قالوا لا ولكن هذا يكون

“Menceritakan kepada kami Abu Nashr bin Qatadah, mengabarkan kepada kami Abu Muhammad Ahmad bin Ishaq bin Syaiban bin Al-Baghdadiy Bahrah, mengabarkan kepada kami Mu’adz bin Najdah, menceritakan kepada kami Kamil bin Thalhah, menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah, dari Al-Azraq bin Qais berkata :”Aku melihat Ibnu Umar apabila bangkit dari raka’at kedua, bertelekan dengan kedua tangannya diatas bumi, maka aku bertanya kepada anaknya dan teman - teman duduk sejawatnya, barangkali beliau melakukan hal itu karena usianya yang tua?”. Mereka menjawab :”Tidak, akan tetapi demikianlah halnya”.

Takhrij Hadits :
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam As-Sunan Al-Kubra (2/135).

Derajat Hadits :
Sanadnya jayyid.
Berkata Syaikh Al-Albaniy :”Sanadnya jayyid dan para perawinya seluruhnya tsiqah”. (Silsilah Ad-Dhaifah (2/392)).

Penjelasan Hadits :
a.      Makna Al-‘Ajn
Kata Al-‘Ajn di dalam bahasa Arab dapat kita tinjau dari dua sisi; yang pertama ditinjau dari orang yang disifati dengan Al-‘Ajn yaitu seorang yang sudah tua renta, yang bertumpu dengan tangannya tatkala berdiri, yang kedua adalah haiah (sifat) dari Al-‘Ajn itu sendiri yang dinisbatkan kepada haiah orang yang membuat adonan dengan meremas - remasnya, untuk kemudian dalam permasalahan Al-‘Ajn di dalam shalat para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkannya :

·         Pendapat pertama Al-‘Ajn yang bermakna Al-‘Ajz (lemah) dikarenakan usia.
Berkata Ibnu Rajab Al-Hanbaliy tentang makna Al-‘Ajn yang termaktub di dalam hadits :”Berkata sebagian ulama :”Al-‘Ajin maknanya adalah seorang yang sudah tua renta yang bertelekan dengan kedua telapak tangannya tatkala berdiri, jadi bukan makna al-‘ajin disini bertelekan tangan sebagaimana seorang yang meremas adonan”. (Lihat Fathul Baari’ (7/293)).
Berkata Imam Nawawi tatkala mengomentari hadits Ibnu Abbas di awal pembahasan :”Ini adalah hadits dhaif, bathil, tidak ada asal - usulnya, dan lafadhnya menggunakan nun (Al-‘Ajin bukan Al-‘Ajiz dengan zaiy), kalaupun hadits ini shahih maka maknanya adalah berdiri dengan bertelekan kedua telapak tangan sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang lemah, yaitu seorang yang tua renta, dan bukan bermakna seperti orang yang meremas adonan”. (Lihat Al-Majmu’ (3/421)).
Beliau Imam Nawawi juga menilai bahwa bertelekan dengan telapak tangan (bukan dengan punggung tangan yaitu mengepal) merupakan sunah yang tidak ada perselisihan di dalamnya, beliau rahimahullah berkata :”Dan apabila seseorang bertelekan dengan kedua tangan tatkala bangkit ia menjadikan telapak tangan, dan telapak jemarinya sebagai tumpuan diatas bumi, tanpa ada perselisihan dalam hal ini”. (Lihat Al-Majmu’ (3/421)).
Berkata Ibnu Shalah :”Apabila sifat tua renta disini dipetik dari kalimat ‘aajinul ‘ajiin (orang yang meremas adonan), maka penyerupaan tersebut diambil semata - mata karena kuatnya pensifatan dalam bertumpu dengan kedua tangan, bukan pensifatan bentuk mengepalkan tangan -tatkala bangkit-“. (Lihat Al-Badru Al-Muniir (3/680)).
Berkata Syaikh Bakr Abu Zaid :”Adapun Al-’Ajn, jika merujuk kepada kamus bahasa arab dan kitab - kitab yang membahas kalimat gharib (asing) memiliki dua pensifatan : Yang pertama, haiah (bentuk) dari Al-‘Ajn adalah bertumpu dengan kedua tangan sembari menghimpunnya, yaitu dengan punggung tangannya (mengepal) layaknya orang yang meremas adonan, sebagaimana disebutkan di dalam Lisanul Arab, Tajul ‘Arus dan selainnya. Yang kedua, haiah (bentuk) dari al-‘ajn adalah bertumpu dengan kedua telapak tangan di atas bumi sebagaimana orang yang tua renta bertumpu dengan kedua tangannya, jadi bukan yang dimaksud disini adalah orang yang meremas adonan, sebagaimana disebutkan di dalam Tajul ‘Arus, Al-Badru Al-Munir, dan selainnya, pendapat yang terakhir ini dipilih oleh Imam Nawawi di dalam Al-Majmu’ dan Ibnu Shalah di dalam Syarah Al-Wajiz”. (Al-Ajza Al-Haditsiyah Hal. 217)

·     Pendapat kedua Al-‘Ajn berarti menggenggam, mengepalkan tangan, meremas sebagaimana seorang yang meremas adonan.
Bekata Ibnu Al-Atsir :”Dan di dalam hadits Ibnu Umar radhiallaahu ‘anhu {bahwasanya beliau melakukan al-‘ajn di dalam shalat, maka ditanyakan kepadanya :”Apa ini?”. Beliau menjawab :”Aku melihat Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam melakukan al-‘ajn di dalam shalat”}. Yakni maksudnya adalah bertumpu dengan kedua tangan saat berdiri sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang meremas adonan. (Lihat An-Nihayah Fii Gharibil Hadits Wal Atsar (3/188)).
Berkata Abu Ishaq Al-Harabiy :”Perkataan -perawi- :”Aku melihat Ibnu Umar melakukan al-‘ajn”. Yang dimaksud yaitu -bertumpu dengan- meletakan kedua tangan di atas bumi sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang meremas adonan”. (Lihat Gharibul Hadits Al-Harabiy (2/526)).
Berkata Ibnu Al-Mandur :”Dan di dalam hadits Ibnu Umar, bahwasanya beliau melakukan al-‘ajn di dalam shalat, maka di tanyakan kepada beliau :”Apa ini?”. Maka beliau menjawab :”Sesungguhnya aku melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melakukan al-‘ajn di dalam shalat”. Maksudnya yaitu bertelekan dengan kedua tangannya tatkala bangkit sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang meremas adonan”. (Lihat Lisanul Arab (Hal. 2829)).
Yang nampak bagi kami di dalam permasalahan ini, -Allahu a’lam- adalah bahwa semuanya benar dan boleh diamalkan, apakah itu yang mengatakan bahwa yang benar adalah bertumpu dengan kedua telapak tangan, atau yang mengatakan bertumpu dengan mengepalkan tangan, semua memiliki kemungkinan dan semua benar. Bagi yang mengatakan bertumpu dengan kedua telapak tangan maka masuk ke dalam keumuman hadits Malik bin Al-Huwairits yang insya Allah akan kita sebutkan nanti, dan keumuman hadits al-‘ajn, sedangkan yang mengatakan bertumpu dengan mengepalkan tangan maka berpegang kepada zhahir hadits diatas tentang makna al-‘ajn.

Tanbih :
      Namun perlu diperhatikan disini, bahwa pensifatan haiah (bentuk) bertumpu dengan mengepalkan tangan tatkala bangkit dari sujud hampir tidak pernah disebutkan oleh para fuqaha di dalam literatur - literatur mereka, di dalam kitab - kitab fiqih mazhab yang empat, pensifatan ini kita katakan adalah pensifatan yang amat langka, orang yang diketahui pernah menyebutkan pensifatan ini yaitu mengepalkan tangan tatkala bangkit dari sujud adalah Al-Ghazaliy di dalam Al-Wajiz dan Al-Wasith, yang diikuti oleh Ar-Rafi’i, dan penyebutan sifat tersebut oleh Al-Ghazaliy pun diingkari oleh para fuqaha mazhab yang setelahnya, sehingga haiah al-‘ajn (mengepalkan tangan tatkala bangkit) merupakan suatu haiah yang masih menyisakan pertanyaan hingga saat ini, wajar saja karena mayoritas ahli ilmu terdahulu tidak pernah mengamalkannya (Lihat Al-Ajza Al-Haditsiyah (Hal. 201-204)).
      Namun hal ini bisa kita ketahui alasannya sebagai berikut sebatas yang kami pahami, kebanyakan para fuqaha berpijak dengan hadits Ibnu Abbas tentang Al-‘Ajn yang tidak samar lagi dhaifnya, ditunjang dengan hadits Ibnu Umar yang tidak mereka sebutkan dalam pembahasan ini, hal ini bisa disebabkan karena mereka juga mendhaifkan hadits Ibnu Umar, atau belum sampai riwayat ini kepada mereka, Allahu a’lam. Yang jelas para ulama berbeda pendapat dalam penshahihan hadits ini disebabkan periwayatan Yunus bin Bukair dan Al-Haitsam, yang sekali lagi kami tekankan disini bahwa hadits tersebut sekurang - kurangnya adalah hasan dan boleh dijadikan hujjah, maka selagi hadits itu bisa dijadikan hujjah, boleh pula mengamalkan isi kandungan hadits tersebut, yang dalam hal ini yaitu mengepalkan tangan tatkala bangkit dari sujud, hanya saja menurut kami yang lebih tepat yaitu kita tidak boleh menjazm (melegitimasi) harus dengan haiah (bentuk) mengepalkan tersebut, artinya jika mau bertumpu maka lakukanlah sesekali gerakan bertumpu dengan mengepalkan tangan, dan sesekali bertumpu dengan telapak tangan.
      Pendapat ini pula lah yang dipegang oleh Syaikh Hamd bin Abdullah Al-Hamd beliau berkata :”Berkata Syaikh kami di dalam syarh beliau yang terakhir untuk Zadul Mustaqniy, di dalam perkemahan tahun 1420 H, yang maknanya :”Dan Hanabilah (Pengikut mazhab hanbaliy) menjawab :”Bahwa kebanyakan hadits yang ada dalam sifat shalat Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tidak menyebutkan sifat bertumpu dengan kedua tangan, dan menyendiri dalam periwayatan sunah ini adalah Malik bin Al-Huwairits, sedang beliau termasuk orang yang terakhir masuk Islam, sehingga beliau menjumpai Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam sedang beliau tatkala itu memasuki usia renta, dan inilah yang disebut dengan al-‘ajn atau al-‘ajiz, yaitu seorang yang bertumpu dengan kedua tangan tatkala bangkit, maka beliau (Malik bin Al-Huwairits) telah menjumpai Nabi dalam kondisi yang berat (untuk bangkit sehingga harus bertumpu), dan inilah yang benar dalam permasalahan ini...”.
Kemudian beliau melanjutkan :”Dan bentuk dari Al-‘Ajn adalah meletakan kedua tangan diatas bumi kemudian bangkit dengan bertumpu. Adapun pengkhususan sunah dalam mengepalkan tangan sebagaimana orang yang meremas adonan, maka pengkhususan ini lemah...”.
Beliau melanjutkan :”Maka dengan ini, jika ada seorang menganggap bertumpu dengan kedua tangan tatkala berdiri itu adalah sunnah, boleh baginya untuk bertumpu dengan berbagai macam bentuk, apakah itu dengan bentuk seperti ini, atau seperti itu, tanpa mengkhususkan bentuk tertentu sebagai sunnah”. (Lihat Syarh Zadul Mustaqniy - Syaikh Hamd (5/100). Syamilah)
Sehingga kami katakan boleh bagi seseorang bertumpu dengan mengepalkan kedua tangan tatkala bangkit dari sujud berdasar zhahir hadits Ibnu Umar, namun dengan catatan selagi ia membutuhkan gerakan tersebut karena sakit, tua, atau lemah tidak mampu berdiri dengan kedua kaki sehingga harus bertumpu, serta tidak mengkhususkan gerakan tersebut sebagai gerakan yang sunnah, karena yang sunnah disisi kami sebagaimana akan kami sebutkan insya Allah adalah seorang bangkit dengan kedua kakinya dari sujud tanpa bertumpu dengan kedua tangan, Allahu a’lam.

b.      Duduk Istirahat dan I’timad atau bangkit dengan kedua kaki?
Pembahasan ini sangat erat kaitannya dengan hadits yang diriwayatkan oleh Malik bin Al-Huwairits, yang lafadhnya sebagai berikut sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari :

حدثنا معلى بن أسد قال حدثنا وهيب عن أيوب عن أبي قلابة قال جاءنا مالك بن الحويرث فصلى بنا في مسجدنا هذا فقال إني لأصلي بكم وما أريد الصلاة ولكن أريد أن أريكم كيف رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يصلي قال أيوب فقلت لأبي قلابة وكيف كانت صلاته قال مثل صلاة شيخنا هذا يعني عمرو بن سلمة قال أيوب وكان ذلك الشيخ يتم التكبير وإذا رفع رأسه عن السجدة الثانية جلس واعتمد على الأرض ثم قام

“Telah menceritakan kepada kami Ma’la bin Asad, berkata telah menceritakan kepada kami Wuhaib dari Ayub dari Abu Qilabah berkata :”Suatu ketika Malik bin Al-Huwairits datang kepada kami, kemudian shalat bersama kami  di Masjid kami ini, beliau berkata :”Sesungguhnya aku shalat bersama kalian, dan tidaklah aku menghendaki demikian kecuali karena aku ingin memperlihatkan kepada kalian, bagaimana aku melihat Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam shalat”. Berkata Ayub :”Maka aku bertanya kepada Abu Qilabah bagaimana kiranya shalat beliau”. Beliau menjawab :”Shalatnya persis seperti shalat Syaikh kami ini, yaitu ‘Amr bin Salamah”. Berkata Ayub :”Adapun Syaikh tersebut maka ia menyempurnakan takbir, dan apabila ia mengangkat kepalanya dari sujud yang kedua, ia duduk untuk kemudian bertumpu diatas bumi dan bangkit”.

Takhrij Hadits :
Derajat Shahih.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari No. 824 Kitab Al-Adzan Bab Kaifa Ya’tamidu ‘Alal Ardhi Idza Qaama Min Ar-Rak’ah, Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra No. 2759, 2760 (2/178-179) Kitab As-Shalat Bab Kaifa Al-Qiyam Mina Al-Julus, Thabraniy dalam Al-Mu’jam Al-Kabir (19/287).

Penjelasan :
Hadits diatas menjelaskan tentang tata cara shalat yang diajarkan oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam kepada Malik bin Al-Huwairits, yang kesimpulannya dalam pembahasan ini adalah, bahwa di dalam hadits tersebut Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam melakukan duduk istirahat setelah sujud, untuk kemudian bertumpu dengan kedua tangannya untuk berdiri.
Sebagaimana yang telah kami sebutkan sebelumnya, bahwa sunnah ini dilakukan ketika seseorang membutuhkannya saja, seperti karena ia seorang yang tua, lemah, sakit, gemuk, dan yang lain sebagainya dari sebab - sebab yang membolehkan seseorang untuk bertumpu dengan kedua tangan tatkala bangkit dari sujud. Konteksnya di dalam hadits ini Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam duduk istirahat dan bertumpu dengan kedua tangan karena beliau memang membutuhkan hal tersebut, sebab hal ini terjadi di masa - masa akhir kehidupan beliau, sebagaimana kita mengetahui bahwa Malik bin Al-Huwairits adalah sahabat yang masuk Islam belakangan, beliau masih seorang pemuda tatkala datang belajar kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam di akhir - akhir kehidupan beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, sehingga sangat wajar jika Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam duduk istirahat dan bertumpu dengan kedua tangan tatkala berdiri di dalam hadits tersebut, karena beliau memang membutuhkan.
Kesimpulannya seorang yang tidak mampu berdiri dengan kedua kakinya dari sujud disunahkan baginya untuk duduk istirahat dan bertumpu dengan kedua tangan untuk bangkit berdiri.
Adapun alasan mengapa kami menguatkan pendapat ini bahwa yang disunahkan adalah bertumpu dengan kedua kaki tatkala bangkit dari sujud, yaitu karena terdapat dalil - dalil pendukung yang menguatkan pendapat kami, yang bisa kita rincikan sebagai berikut :
1.      Datangnya riwayat - riwayat yang sangat banyak jumlahnya dari para sahabat Nabi yang termasuk sahabat - sahabat kibar (besar) bahwasanya mereka berdiri dari sujud dengan bertumpu pada kedua kaki. Semisal Umar, ‘Aly bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Ibnu Umar, Radhiallahu ‘Anhum dan lain - lain yang mana mereka semua berdiri dengan bertumpu pada kedua kaki mereka, lihatlah riwayat - riwayat berikut ini :
·         Ibnu Abi Syaibah di dalam Mushanifnya
Beliau membuat bab khusus yaitu “Bab orang - orang yang bangkit dengan bertumpu pada kedua kaki”. Serta “Bab perkataan seseorang :”Apabila engkau mengangkat kepalamu dari sujud kedua pada raka’at pertama maka jangan duduk”.
1)      Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah dari Al-A’masy dari Ibrahim dari Abdurrahman bin Yazid berkata :”Adalah Abdullah (bin Mas’ud) apabila bangkit di dalam shalat menggunakan kedua kakinya”.
2)      Telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Muhammad bin Yazid dari Yazid bin Ziyad bin Abi Al-Ja’d dari Ubaid bin Abi Al-Ja’d berkata :”Adalah ‘Aliy apabila bangkit di dalam shalat menggunakan kedua kakinya”.
3)      Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah dari Al-A’masiy dari Khaitsamah dari Ibnu Umar, bahwa :”Aku pernah melihatnya bangkit di dalam shalat dengan menggunakan kedua kaki”.
4)      Telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar dari Isa bin Maisarah dari Asy-Sya’biy berkata :”Bahwasanya Umar dan Aliy serta para sahabat Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam mereka apabila berdiri di dalam shalatnya menggunakan kedua kaki mereka”.
5)      Telah menceritakan kepada kami Humaid bin Abdurrahman dari Hisyam bin Urwah dari Wahb bin Kisan, berkata :”Aku melihat Abdullah bin Zubair apabila sujud pada sujud yang kedua ia bangkit sedemikian halnya dengan bertumpu pada kedua kaki”.
6)      Telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Usamah dan Umariy dari Nafi’ dari Ibnu Umar, bahwasanya ia berdiri di dalam shalatnya menggunakan kedua kakinya”.
7)      Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Ibrahim dari Abi Al-Mu’alla dari Ibrahim berkata :”Adalah Ibnu Mas’ud pada raka’at pertama dan ketiga di dalam shalat ketika hendak bangkit tidak duduk terlebih dahulu”.
8)      Telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar dari Muhammad bin Ajlan dari Nu’man bin Abi ‘Ayyas, berkata :”Aku menjumpai lebih dari satu sahabat Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, mereka apabila mengangkat kepalanya dari sujud pada raka’at pertama dan ketiga berdiri secara langsung tanpa duduk terlebih dahulu”.
(Lihat Mushannif Ibnu Abi Syaibah (3/330-332)).
Mengenai riwayat - riwayat ini Syaikh Albaniy berkata :”Faidah, Ibnu Abi Syaibah di dalam Mushanifnya (1/157) meriwayatkan dari sebagian salaf diantaranya Ibnu Mas’ud, Aliy, Ibnu Umar dan yang selainnya dengan sanad - sanad yang shahih bahwasanya mereka semua berdiri di dalam shalat dengan menggunakan kedua kaki mereka”. (Lihat Irwaul Ghalil (2/84)).
·         Al-Baihaqiy dalam Sunan Al-Kubra
1)      Dari Abdurahman bin Yazid bahwasanya dia melihat Abdullah bin Mas’ud bangkit di dalam shalat menggunakan kedua kakinya.
2)      Dari Khaitsamah bin Abdurrahman berkata :”Aku melihat Abdullah bin Umar bangkit di dalam shalat dengan kedua kakinya”.
(Lihat As-Sunan Al-Kubra Ma’a Dzailihi (2/125)).
Riwayat - riwayat tersebut sanadnya adalah shahih, dengan begitu maka menjadi jelaslah bahwa mayoritas sahabat Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tatkala bangkit dari sujud berdiri dengan menggunakan kedua kaki bukan bertumpu dengan kedua tangan, sedang Malik bin Al-Huwairits menyendiri di dalam periwayatannya dalam hal bertumpu tatkala bangkit, jika ada yang menyanggah kami dengan mengatakan kedudukan hadits Malik bin Al-Huwairits adalah lebih shahih dan marfu’ dibanding riwayat - riwayat tersebut yang mauquf, maka kita katakan bahwa riwayat - riwayat tersebut memang mauquf secara sanad namun dari segi hukum adalah marfu’ sampai kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam karena riwayat - riwayat tersebut mengandung sebuah amalan yang urgen yang tidak masuk di dalamnya wilayah ijtihad dari para sahabat, jadi para sahabat melakukan hal tersebut semata - mata karena mencontoh sifat shalat Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam yang mereka saksikan setiap harinya.
Lagipula kami tidak menafikan riwayat dari Malik bin Al-Huwairits namun kami memberi ta’lil (alasan) bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam duduk dan bertumpu karena beliau membutuhkan hal tersebut di akhir - akhir kehidupan beliau, sehingga antara riwayat - riwayat tersebut yang shahih tidak saling bertentangan, bedakan halnya dengan orang yang menganggap sunah secara mutlak untuk duduk istirahat dan bertumpu dengan kedua tangan, bagaimana bisa mereka menafikan atsar - atsar yang shahih dari sahabat Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, sehingga apa yang kami pilih insya Allah yang lebih mendekati kebenaran, karena pilihan ini sanggup mengkompromikan riwayat - riwayat yang shahi tersebut tanpa harus menafikan salah satunya, Allahu a’lam.

2.      Asbabul wurud hadits dari Malik bin Al-Huwairits terjadi di akhir - akhir kehidupan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, yang sangat kuat mengindikasikan bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam melakukan hal itu karena beliau memang membutuhkannya sebab usia beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasallam yang sudah tua.

3.      Apabila ada seorang yang beragumen kepada kami dengan atsar dari Ibnu Umar, sebagaimana hadits dalam pembahasan ini, kami sebutkan kembali :
“Dari Al-Azraq bin Qais berkata :”Aku melihat Ibnu Umar apabila bangkit dari raka’at kedua, bertelekan dengan kedua tangannya diatas bumi, maka aku bertanya kepada anaknya dan teman - teman duduk sejawatnya, barangkali beliau melakukan hal itu karena usianya yang tua?”. Mereka menjawab :”Tidak, akan tetapi demikianlah halnya”. (HR. Al-Baihaqiy dalam As-Sunan Al-Kubra (2/135)).
Di dalam atsar ini anak Ibnu Umar dan teman - teman sejawatnya mengatakan bahwa Ibnu Umar bertelekan tangannya tatkala bangkit dari sujud tidak dikarenakan usianya yang tua, namun demikian halnya beliau senantiasa melakukannya. Kita katakan : Ibnu Umar memiliki dua riwayat dalam hal ini; yang pertama riwayat beliau yang bangkit dari sujud dengan menggunakan kedua kaki sebagaimana telah disebutkan dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah, tidak mengapa kita sebutkan kembali :
“Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah dari Al-A’masiy dari Khaitsamah dari Ibnu Umar, bahwa :”Aku pernah melihatnya bangkit di dalam shalat dengan menggunakan kedua kaki”. (Lihat Mushannif Ibnu Abi Syaibah (3/330-332)).
Di dalam riwayat tersebut disebutkan Ibnu Umar berdiri dari sujud dengan menggunakan kedua kaki bukan dengan duduk istirahat terlebih dahulu kemudian bertumpu diatas bumi, apakah kita akan menafikan pula riwayat yang shahih tersebut?.
Kita katakan, sungguh hal ini juga dapat dikompromikan, penjelasannya sebagai berikut, bahwa kemungkinan besar beliau Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma melakukan hal tersebut setelah beliau mendapat musibah berupa patah tulang tangan dan kaki sebagaimana yang terjadi di Khaibar, saat Yahudi Khaibar mematahkan tangan dan kaki beliau tatkala beliau hendak mengambil hartanya disana (tentang kisahnya lihat HR. Bukhari No. 2730, Kitab Syuruth Bab Idza Usturitha Fil Muzara’ah), yang cuplikannya demikian :

عن نافع عن ابن عمر رضي الله عنهما قال لما فدع أهل خيبر عبد الله بن عمر قام عمر خطيبا فقال إن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان عامل يهود خيبر على أموالهم وقال نقركم ما أقركم الله وإن عبد الله بن عمر خرج إلى ماله هناك فعدي عليه من الليل ففدعت يداه ورجلاه...

Dari Nafi’ dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘anhuma berkata :”Tatkala Yahudi Khaibar mematahkan -tulang- Abdullah bin Umar, maka berdirilah Umar untuk berkhutbah, beliau berkata :”Sesungguhnya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam telah bermuamalah dengan Yahudi Khaibar atas harta mereka”. Beliau berkata :”Kami mengakui kalian sebagaimana Allah juga menganggap kalian, akan tetapi ini Abdullah bin Umar pergi untuk mengambil hartanya disana, namun ia dizhalimi, di suatu malam sehinga kedua tangan dan kakinya bengkok (patah)....”. (HR. Bukhari No. 2730)

Yang pastinya hal ini menjadikan keadaan fisik beliau tidak bisa kembali seperti semula, tulang beliau menjadi bengkok, sampai - sampai diriwayatkan beliau duduk bersila tatkala tasyahud, (kisah selengkapnya di dalam Shahih Al-Bukhari Kitab Al-Adzan Bab Sunatul Julus Fii At-Tasyahud) :

عن عبد الله بن عبد الله أنه أخبره أنه كان يرى عبد الله بن عمر رضي الله عنهما يتربع في الصلاة إذا جلس ففعلته وأنا يومئذ حديث السن فنهاني عبد الله بن عمر وقال إنما سنة الصلاة أن تنصب رجلك اليمنى وتثني اليسرى فقلت إنك تفعل ذلك فقال إن رجلي لا تحملاني


Dari Abdullah bin Abdullah, beliau mengabarkan bahwasanya dahulu pernah melihat Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma duduk bersila di dalam shalat ketika posisi duduk (tasyahud), maka aku pun menirunya sedang ketika itu aku masih kecil, maka beliau melarang aku melakukannya, seraya berkata :”Sesungguhnya duduk yang sunah di dalam shalat, adalah engkau menegakan kaki kananmu dan duduk diatas kaki kirimu”. Maka aku menjawab :”Akan tetapi kok anda melakukan seperti itu?”. Beliau menjawab :”Sesungguhnya kedua kakiku ini tidak kuat untuk menopang”. (HR. Bukhari No. 827, Kitab Al-Adzan Bab Sunatul Julus Fii At-Tasyahud).

      Jika demikian halnya kondisi Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma di akhir - akhir kehidupan beliau, maka sungguh amat wajar jika beliau melakukan duduk istirahat dan bertumpu dengan kedua tangannya tatkala berdiri, karena sesungguhnya beliau memerlukan, beda halnya tatkala beliau masih muda dan kuat, serta belum mendapat musibah tersebut, maka beliau menjadikan kedua kaki beliau sebagai tumpuan tatkala berdiri, sehingga kedua riwayat yang semua berasal dari beliau yang seakan - akan bertentangan bisa dikompromikan.
      Mengenai alasan teman - teman beliau yang mengatakan beliau tidak melakukan al-‘ajn karena usianya tua namun demikianlah halnya, kita katakan benar demikianlah halnya beliau melakukannya karena musibah yang beliau alami, dan sangat memungkinkan, bahwa teman - teman duduk Ibnu Umar hanya mengetahui shalat Ibnu Umar setelah beliau terkena musibah, karena sebelum terkena musibah tentunya Ibnu Umar berdiri dengan menggunakan kedua kakinya tatkala bangkit, sebagaimana riwayat yang telah berlalu.
Sehingga menjadi jelaslah kebenarannya -insya Allah- pendapat yang kami kuatkan ini, Allahu a’lam.

Kesimpulan Akhir Dari Pembahasan :
            Maka kesimpulan akhir dari pembahasan ini sekaligus sebagai ringkasannya adalah :

1)      Hadits Al-‘Ajn derajatnya tidak kurang dari derajat hasan, sehingga boleh dijadikan hujjah.
2)      Hadirnya beberapa riwayat tentang keumuman bertumpu dengan kedua tangan, tanpa menyebutkan bentuk Al-‘Ajn (mengepal), beserta riwayat - riwayat yang menunjukan bertumpu pada kedua kaki, menjadikan kita tidak boleh untuk menjazm bahwa bentuk Al-‘Ajn adalah bentuk yang sunnah, melainkan itu sebuah bentuk yang mubah, yang tidak mengapa bagi seseorang melakukannya selagi ada hajah, dan kuatnya riwayat tentang al-‘ajn menjadi indikasi bahwa haiah (bentuk) tersebut adalah tidak dilarang dan tidak diada - adakan, bertolak belakang dengan pendapat sebagian fuqaha yang menolak haiah tersebut ada di dalam shalat.
3)      Sebab diperbolehkannya duduk istirahat dan bertumpu pada kedua tangan di atas bumi sewaktu berdiri adalah karena usia tua, gemuk, sakit, dan sebab - sebab lain yang membolehkan hal tersebut.
4)      Bagi seorang yang kuat maka yang sunah baginya ketika bangkit dari sujud adalah bertumpu dengan kedua kaki, tanpa duduk istirahat dan bertumpu dengan kedua tangan diatas bumi.
Demikianlah pembahasan takhrij hadits al-‘ajn ini berikut penjelasan - penjelasannya beserta tarjihnya, mudah - mudahan jerih payah yang tidak seberapa ini bisa bermanfaat bagi penulis dan kaum muslimin sekalian, jika ada saran atau kritikan yang membangun dari para Asatidzah, dan kaum muslimin sekalian berkenaan dengan pembahasan kami, maka akan kami terima dengan senang hati. Mudah - mudahan Allah senantiasa memberikan taufiq kepada kita semua untuk meniti jalan yang lurus yang diridhai oleh-Nya, Amiin.


Diselesaikan dengan pertolongan Allah pada, Senin, 23 Sya’ban 1434 H / 1 Juli 2013 M

________________________________
Referensi :

1.      Al-Wasith Fil Madzhab, Abul Hamid Al-Ghazaliy, Maktabah Darussalam Tahqiq Ahmad Mahmud Ibrahim, Cetakan Pertama 1417 H / 1997 M
2.      Al-Aziz Syarhul Wajiz (Syarhul Kabir), Abul Qasim Abdul Karim bin Muhammad Ar-Rafi’i, Darul Kutub Ilmiyah - Beirut Lebanon, Tahqiq Ali Muhammad Mu’awwad dan ‘Adil Ahmad Abdul Maujud, Cetakan Pertama 1417 H / 1997 M
3.      At-Talkhis Al-Habir Fii Takhriji Ahaditsi Ar-Rafi’i Al-Kabir, Abul Fadhl Ahmad bin Aly bin Hajar Al-Asqalaniy, Mu’asasah Qurthubah, Tahqiq Abu ‘Ashim Hasan bin Abbas, Cetakan Pertama 1416 H / 1995 M
4.      Al-Badru Al-Munir Fii Takhrijil Ahaditsi Wal Atsar Al-Waqi’ah Fiis Syarhil Kabir, Abu Hafsh Umar bin Ali bin Mulaqqin, Darul Hijrah, Tahqiq Abdullah bin Sulaiman, Cetakan Pertama 1425 H / 2004 M
5.      Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab, Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Maktabah Al-Irsyad - Jeddah, Tahqiq Muhammad Mujib Al-Muthi’i
6.      Gharibul Hadits, Abu Ishaq Al-Harabiy, Darul Madani, Tahqiq Sulaiman bin Ibrahim bin Muhammad Al-Ayid, Cetakan Pertama 1405 H / 1985 M
7.      Taqribut Tahdzib, Al-Hafidh Ahmad bin Aliy Ibnu Hajar Al-Asqalaniy, Muasasah Risalah, Tahqiq Adil Mursyid, Cetakan Pertama 1420 H / 1999 M
8.      Kitabu Tsiqaat, Ibnu Hibban, Wizaratul Ma’arif Lil Hukumah Al-‘Aliyah Al-Hindiyah, Raqib Doktor Muhammad Abdul Mu’id, Cetakan Pertama 1393 H / 1973 M
9.      Tahdzibul Kamal Fii Asmaa’ir Rijaal, Al-Hafidh Al-Mutqin Jamaludin bin Abi Al-Hajjaaj Yusuf Al-Mizziy, Muasasah Risalah, Tahqiq Doktor Basyar ‘Awar Ma’ruf, Cetakan Kedua Tahun 1404 H / 1983 M
10.  Siyar A’lamin Nubala, Al-Imam Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabiy, Muasasah Risalah, Tahqiq Syu’aib Al-Arnauth, Cetakan Kedua 1402 H / 1982 M
11.  Kitaabut Thabaqaat Al-Kabiir, Muhammad bin Sa’ad, Maktabatul Khanjiy - Kairo, Tahqiq Dr. Aliy Muhammad Umar, Cetakan Pertama 1421 H / 2001 M
12.  Rijaal Shahih Muslim, Abu Bakar Ahmad bin Aliy bin Manjuwaih Al-Ashhabaniy, Darul Ma’rifah - Beirut, Tahqiq Abdullah Al-Laitsiy
13.  Dzikru Asma’i Man Tukullima Fiihi Wa Huwa Muwatsaqqun, Syamsudin Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabiy, Maktabah Al-Manar - Urdun, Tahqiq Muhammad Syakur bin Mahmud Al-Hajjiy, Cetakan Pertama 1406 H / 1986 M
14.  Tahdzibut Tahdzib, Abul Fadhl Ahmad bin Aliy bin Hajar Al-Asqalaniy, Muasasah Risalah, Tahqiq Ibrahim Syibaq dan Adil Mursyid
15.  Ma’rifatuts Tsiqaat Min Rijaali Ahlil ‘Ilmi Wal Hadiits Wa Minadh Dhu’afaa Wa Dzikri Madzaahibihim Wa Akhbaarihim, Abul Hasan Ahmad bin Abdullah bin Shalih Al-‘Ijliy, Bitartib Al-Imamain Abu Bakar Sulaiman Al-Haitsami dan Aliy bin Abdul Kaafiy As-Subky, Tahqiq Abdul ‘Aliy Abdul ‘Adhim Al-Bastawiy
16.  Kitab Al-Jarh Wa At-Ta’diil, Abdurrahman Ibnu Abi Hatim Ar-Raziy, Dar Ihyaut Turaats Al-‘Arabiy -  Beirut, Cetakan Pertama Tahun 1373 H / 1953 M
17.  Tamaamul Minnah Fii At-Ta’liiq ‘Ala Fiqhis Sunnah, Muhammad Nashirudin Al-Albaniy, Dar Ar-Rayah Cetakan Kedua 1408 H
18.  Al-Kaasyif Fii Ma’rifati Man Lahu Riwaayatun Fii Al-Kutub As-Sittah, Syamsudin Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabiy, Muasasah Ulumil Qur’an - Jeddah, Tahqiq Muhammad ‘Awamah dan Ahmad Muhammad Nahrul Khatib, Cetakan Pertama Tahun 1413 H / 1992 M
19.  Rijaalu Shahih Al-Bukhari yang disebut dengan Al-Hidayah Wal Irsyad Fii Ma’rifati Ahli Ats-Tsiqah Wa As-Sadaad Alladziina Akhraja Lahum Al-Bukhari Fii Jaami’ihi, Abu Nashr Ahmad bin Muhammad bin Husain Al-Kalaabaadzi, Darul Ma’rifah - Beirut, Tahqiq Adullah Al-Laitsiy, Cetakan Pertama Tahun 1407 H / 1987 M
20.  Fathul Baab Fii Al-Kunaa Wa Al-Alqaab, disertasi untuk meraih gelar Doktoral, Wizaratut Ta’lim Jaami’ati Ummi Al-Qura - Makkah, Abu Abu Abdillah Muhammad bin Ishaq bin Mandah, Tahqiq Abdul Aziz Ar-Rahmaniy, Tahun 1407 H
21.  Muqadimmah Ibni Shalah Wa Mahasinul Isthilah, Ibnu Shalah, Darul Ma’rifah, Dr. Aisyah Abdurrahman bintu Syathibi
22.  Fathul Mughiits Bi Syarhi Alfiyatl Hadiits, Abdul Khair Muhammad bin Abdurrahman As-Sakhawiy Asy-Syafi’i, Maktabah Darul Minhaj, Cetakan Pertama Tahun 1426 H
23.  Kitaabus Sunan Al-Kubra Wa Fii Dzailihi Al-Jauhar An-Naqiy, Abu Bakar Ahmad bin Husain Al-Baihaqiy, Dairatul Ma’arif Al-Utsmaniyah - Al-Hind, Cetakan Pertama Tahun 1346 H
24.  Silsilah Al-Ahaadiits Adhaa’ifah Wal Maudhu’ah Wa Atsaaruha As-Sayyi’ Fil Ummah, Muhammad Nashirudin Al-Albaniy, Maktabah Al-Ma’arif - Riyadh, Cetakan Pertama 1412 H / 1992 M
25.  An-Nihayah Fii Gharibil Hadits Wal Atsar, Abu Su’adat Al-Mubarak bin Muhammad Al-Jazriy Ibnu Al-Atsir, Dar Ihyaut Turats Al-‘Arabiy - Beirut, Tahqiq Thahir Ahmad Az-Zawiy dan Mahmud Muhammad Ath-Thanajiy.
26.  Lisaanul Arab, Ibnu Manzhur, Darul Ma’arif - Kairo
27.  Fathul Baari’ Syarh Shahih Al-Bukhari, Abul Faraj Ibnu Rajab Al-Hanbaliy, Jama’atun Minal Ulama, Maktabah Al-Ghuraba Al-Atsariyah, Cetakan Pertama 1416 H / 1996 M
28.  Al-Ajzaa Al-Haditsiyah, Bakr Abu Zaid, Darul ‘Ashimah, Cetakan Pertama 1416 H / 1996 M
29.  Al-Jami’ Ash-Shahih Al-Musnad Min Haditsi Rasulillah Wa Sunanihi Wa Ayamihi, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Maktabah Ar-Rusyd, Abu Abdullah Abdus Salam bin Umar Al-‘Alawis Cetakan Kedua 1427 H / 2006 M
30.  As-Sunan Al-Kubra, Abu Bakar Ahmad bin Al-Husain bin Aliy Al-Baihaqiy, Darul Kutub Ilmiyah - Beirut, Tahqiq Muhammad bin Abdul Qadir ‘Atha, Cetakan Ketiga Tahun 1424 H / 2003 M
31.  Al-Mu’jam Al-Kabiir, Abu Al-Qasim Sulaiman bin Ahmad Ath-Thabraniy, Maktabah Ibnu Taimiyah - Kairo, Tahqiq Hamdiy Abdul Majid As-Salafiy, Cetakan Kedua
32.  Irwaul Ghalil Fii Takhriij Ahadiits Manaaris Sabiil, Nashirudin Al-Albaniy, Cetakan Pertama Tahun 1399 H / 1979 M
33.  Al-Mushannif, Ibnu Abi Syaibah, Syirkatu Darul Qiblah, Tahqiq Muhammad Awwamah, Cetakan Pertama Tahun 1427 H / 2006 M